Praktek
Ritual Nyekar
Oleh : Antonius Invarien
Alpha Andriyanto
1. Pengantar
Salah
satu praktek ritual yang sering dilakukan oleh orang Jawa adalah tradisi nyekar yaitu tradisi mengunjungi makam
orang terdekat yang sudah meninggal dan mendoakannya. Penulis yang adalah orang
Jawa juga mempunyai pengalaman mengenai ritual
nyekar
ini. Ketika liburan, penulis diajak oleh keluarga untuk nyekar ke makam simbah yang sudah meninggal. Baik ke makam simbah
yang tidak pernah penulis kenal dan jumpai maupun ke makam simbah yang pernah
dikenal dekat oleh penulis semasa hidupnya. Tetapi,
penulis seringkali melihat justru nyekar
atau ziarah makam banyak dilakukan oleh orang-orang sebelum dan saat bulan
Ramadhan atau hari raya Idul Fitri tiba. Dalam paper ini, penulis akan
menjelaskan praktek ritual nyekar ditinjau
dari perspektif budaya jawa, paham keselamatan dalam agama Islam dan agama
Kristiani.
2.
Ritual Nyekar
Kematian setiap orang adalah merupakan suatu kepastian.
Kematian sebagai pulang ke asal, bahkan
tidak jarang pulang kepada Tuhan Pencipta (mendiang, ke-Hyang). Kesetiakawanan
antara yang hidup dan yang mati. Yang hidup mendoakan almarhum; yang mati
melantarkan berkat dan restu. Dia hilang, namun tak terlupa. Pengembaraan dari tempat menghembus nafas
terakhir sampai ke alam maut sejati menuntut waktu lama. Selama itu perlulah
kurban, sajen, peraturan khusus dan tolak bala.
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa kesetiakawanan orang yang hidup kepada
orang yang mati adalah mendoakan arwah orang yang sudah meninggal itu dengan
harapan bahwa arwah orang yang sudah meninggal itu juga akan mengantarkan
doa-doa kita kepada Hyang Maha Kuasa dengan berkat dan restunya. Pengembaraan
arwah hingga sampai kepada kebahagiaan kekal menuntut waktu yang lama. Selama
itu, kita sebagai manusia hanya bisa mendoakan supaya perjalanannya lancer.
Oleh karena itu, melalui berbagai sarana dan bentuk ritual yang ada, manusia
mendoakan arwah orang yang sudah meninggal itu. Salah satunya adalah nyekar. Nyekar akan mengingatkan diri mereka bahwa setiap
manusia kelak juga akan mengalami kematian.
Nyekar
berasal dari kata Jawa ‘sekar’ yang berarti kembang atau bunga. Dalam
praktiknya, memang ziarah ini melibatkan penaburan bunga di atas makam yang
dikunjungi. Bahkan sebagian masyarakat ada yang menyertakan dupa dan kemenyan.
Ritual nyekar
ini dilaksanakan dengan beberapa langkah, antara lain;
1) Ritual : Orang-orang yang akan melakukan ziarah makam atau nyekar ini biasanya datang ke kuburan
atau sareyan dengan berjalan kaki.
Tetapi, kini dimudahkan dengan alat trasnportasi. Makna : Ziarah makam dengan berjalan kaki mengandung makna bahwa
hidup kita di dunia ini juga merupakan sebuah perjalanan peziarahan menuju
tempat tertentu.
2) Ritual : Orang –orang yang akan nyekar biasanya membawa bunga-bunga yang sudah dipetik dari kebun
atau pekarangan rumah yang akan digunakan untuk nyekar. Itu dulu, kalau sekarang orang dapat membeli bunga pada
penjual bunga yang ada di pinggiran jalan. Makna
: Bunga tabur dimaknai sebagai bentuk persembahan yang dicampur dengan kemenyan
sebagai wangi-wangian. Pecampuran bunga dan kemenyan tersebut melambangkan
kesucian hidup manusia yang harum.
3) Ritual : Setelah sampai di makam, baik dengan berjalan kaki
maupun dengan alat transportasi, mereka tidak langsung berdoa tetapi
membersihkan sekitar makam (menyapu daun-daun kering, dsb). Makna : Membersihkan sekitar makam
mengandung makna bahwa kita perlu membersihkan diri (pikiran, hati dan
tindakan) ketika kita akan berdoa memohon sesuatu pada Hyang Kuasa.
4) Ritual : Setelah membersihkan makam, lalu doa dimulai. Doa
dipimpin oleh penghulu atau modin (bila ada). Tetapi, jika tidak ada, doa
biasanya dipimpin oleh orang yang dituakan atau sesepuh yang ikut nyekar. Makna : Makna dari adanya doa untuk arwah orang yang sudah
meninggal ini adalah sebagai bentuk permohonan supaya sanak-keluarga yang masih
hidup mendapat perlindungan, keselamatan, dan kesehatan. Selain itu, juga
mendoakan perjalanan arwah supaya mendapat ketenangan dan kedamaian.
5) Ritual : Sebelum pulang kembali ke rumah masing-masing,
orang-orang yang nyekar akan
mengucapkan terima kasih dan mohon perlindungan kepada arwah leluhur atau orang
yang sudah meninggal tersebut. Makna
: Makna dari mengucapkan kata-kata itu adalah sebagai ungkapan permohonan
berkat dan restu serta ungkapan terima kasih kepada orang yang sudah meninggal
itu.
Penulis akan menganalisis
praktek ritual nyekar menurut
tahap-tahap dalam Teori Van Gennep. Tahap-tahap itu antara lain;
1)
Geografis
/ masyarakat
Masyarakat yang akan dibicarakan oleh penulis adalah masyarakat Jawa
Tengah tempat penulis berada. Khususnya di daerah Jumapolo, Karanganyar. Di
sana masih banyak orang yang melakukan ziarah kubur atau nyekar ini terutama saat menjelang atau saat merayakan Hari Raya
Idul Fitri.
2)
Harmoni
Suasana harmoni terjadi saat arwah orang yang meninggal itu mendapat
kedamaian di surga. Suasana harmoni itu semakin nampak ketika selama satu tahun
setelah Idul Fitri seluruh anggota keluarga senantiasa dilimpahi kesehatan,
keselamatan, dan kebahagiaan.
3)
Disharmoni
Disharmoni terjadi ketika arwah orang yang meninggal itu masih sering
menampakkan diri kepada sanak-saudara terdekat, baik secara inderawi maupun
dalam mimpi. Dari situ, lalu muncul pengandaian bahwa arwah orang yang
menampakkan diri itu belum mendapat tempat yang layak dan belum mendapatkan
ketenangan. Maka dari itu, diperlukan ritus pemulihan supaya hubungan antara
orang yang hidup dan orang yang sudah meninggal itu menjadi harmonis kembali.
4)
Ritus
pemulihan
Suasana disharmoni itu harus dipulihkan melalui ritus penulihan supaya
suasana kembali harmonis. Salah satu ritus pemulihan adalah nyekar atau ziarah kubur.
5)
Proses:
a)
Metanoia
Metanoia
adalah proses ritual yang didalamnya mengandung kesadaran akan ketidakberesan.
Dalam proses nyekar yang dimaksud adalah suasana perkabungan yang dialami ketika
‘ditinggal pergi’ oleh orang yang dicintai muncul kembali dalam ingatan maupun
melalui penampakan dalam mimpi.
b) Katarsis
Katarsis
adalah proses ritual dimana kita mengenang saat-saat harmoni yaitu saat-saat
kebersamaan dengan ‘orang yang telah meninggal’ semasa hidup dulu. Proses
ritual ini diisi dengan mendoakan arwah orang yang telah meninggal dunia itu.
c)
Paripatia
Paripatia
adalah proses ritual dimana mulai mensyukuri pemulihan harmoni yang telah
terjadi. Orang menjadi damai dan tenang karena telah mendoakan arwah orang yang
telah meninggal. Makanan dan minuman menjadi bentuk sukacita bersama atas
pembebasan dosa arwah yang telah dimohonkan dalam doa tersebut.
3. Pertanyaan
Teologis
Sebuah
pertanyaan teologis mengenai tradisi nyekar adalah “bagaimana konsep relasi dengan Tuhan dapat dipahami secara dekat
melalui orang yang telah meninggal?”
4.
Analisis “nyekar”
berdasarkan Konsep Keselamatan dalam Agama Islam
Di
dalam nyekar, yang pasti dan umum terjadi, adalah pembersihan makam dan
pembacaan himpunan doa atau bagian dari surat Al-Quran. Jika mereka yang nyekar
ini tidak ada yang bisa membaca doa sendiri
(umumnya dalam bahasa Arab), di pemakaman umum
biasanya ada juru kunci atau guru agama yang bisa membantu memimpin dan memandu
pembacaan ini. Tradisi
ini diyakini diperkenalkan
oleh para wali yang di satu sisi meneruskan tradisi penghormatan kepada roh
leluhur di kalangan masyarakat Jawa yang masih menganut ajaran Hindu-Budha saat
itu dan di sisi lain menyelaraskan dan membingkainya dengan ajaran Islam.
Oleh karena itu, nyekar bisa dikatakan
suatu bentuk dari pribumisasi Islam, akomodasi Islam pada tradisi lokal. Secara
teologis, tradisi ini memang masih memiliki hubungan dengan akidah Islam
tentang kematian bahwa setelah manusia meninggal, rohnya akan
meninggalkan jasad dan akan berada di alam barzakh hingga nanti hari
kebangkitan atau hari kiamat. Ziarah
makam atau nyekar
ini juga memiliki dasar-dasarnya di dalam Islam
sebagaimana termaktub dalam hadits nabi yang diriwayatkan Muslim, Abu Dawud,
dan at-Tarmizi: “Dahulu aku telah
melarangmu berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah, karena sesungguhnya
ziarah kubur itu mengingatkan akhirat.”
Tradisi nyekar ini oleh umat muslim diyakini
diperkenalkan oleh para wali. Secara
etimologis, kata wali berarti “seseorang yang ada di bawah naungan”, atau
“kawan dekat”.
Dengan demikian pengertian wali menunjuk pada seseorang yang karya dan
karakternya telah mengalami transformasi, sampai semuanya itu (seperti yang
terjadi pada suatu cermin) dapat memantulkan sifat kudus Allah sendiri.Ziarah sebagai kunjungan ke makam-makam
seperti yang terkait dengan para wali sempat memperoleh kritik dari beberapa
pemikir Muslim. Suara paling keras dan tajam berasal dari para pengikut
Hanbali, salah satunya adalah Ibn Taymiyya (m. 1328). Reaksi para pengikut Wahhabi
tak kalah kerasnya. ‘Abd al-Wahhab (m. 1791), pendiri Wahabbiyya berhasil
menguasai Mekkah dan Madina serta daerah sekelilingnya, lalu menghancurkan
makam serta segala peninggalam keluarga Nabi. Mereka menolak segala bentuk
ziarah dan tindakan ritual yang berhubungan dengannya, karena di mata mereka,
semuanya itu dapat membawa pada upaya penyekutuan (shirk) dan bidaah (bid’a).
Jauh sebelum itu, al-Ghazali (m. 1111) sudah menyampaikan gagasannya untuk
membela praktik ziarah di kalangan kaum Muslim. Menurut al-Ghazali, ziarah akan
dapat mengantar orang untuk memiliki sikap penyerahan diri. Bagi al-Ghazali, tujuan ziarah tidak lain
dan tidak bukan adalah untuk mengadakan “permenungan dan sekaligus pengenangan
akan kematian”, di samping tentu saja juga “permohonan berkah”.
Konsep keselamatan menurut agama Islam dapat kita
pahami paling tidak melalui dua hal yang penting; yang pertama, dosa memasuki kehidupan manusia ketika
manusia melupakan kebaikan Tuhan Allah dan berbuat salah kepada dirinya sendiri
dengan melakukan perbuatan-perbuatan jahat yang hanya dapat ia sesali dan
dimohonkan ampun
dan yang kedua, oleh karena kedosaan itu diperoleh dan bukan diwariskan, jadi, bagi Islam tidak ada keperluan
penebusan, tidak ada metode pertobatan lewat jalan penebusan
, hanya Allah yang dapat mengampuni dosa. Oleh karena itu dapat kita
simpulkan bahwa setelah terlibat dalam
dosa, seseorang harus ‘ingat akan Allah dan memohon ampun bagi dosa-dosanya dan
janganlah terus-menerus berada dalam perbuatan dosa’.
Konsep keselamatan itu secara konkrit dapat dilakukan dengan mengikuti perintah-perintah Allah dan
teladan Rasul, serta menaati hukum. Maka, iman mutlak diperlukan dan
sarana-sarana untuk mencapai keselamatan adalah dengan melakukan doa ritual,
Ramadhan, ziarah, memperhatikan kaum miskin, dsb.
Dari penjelasan di atas, menjadi jelas bahwa praktek
ritual nyekar dalam agama Islam sendiri
menimbulkan polemik atau ketegangan. Disatu sisi, para wali mengizinkan adanya
praktek ziarah makam untuk meneruskan tradisi
penghormatan kepada roh leluhur di kalangan masyarakat Jawa yang masih menganut
ajaran Hindu-Budha saat itu dan
membingkainya dengan ajaran Islam,
tetapi juga di sisi lain, praktek ziarah makam memperoleh kritik dari beberapa
pemikir Muslim yaitu para pengikut Hanbali dan para pengikut Wahhabi, karena semuanya
itu dianggap dapat membawa kepada penyekutuan (shirk) dan bidaah (bid’a).
Namun, terlepas dari kedua ketegangan itu, kini agama Islam memasukkan ziarah makam
atau nyekar itu sebagai salah satu sarana
keselamatan untuk memohonkan ampun bagi dosa-dosa arwah orang yang telah
meninggal dunia, maupun sebagai permenungan diri akan realitas kematian serta
permohonan berkah bagi diri sendiri dan keluarga yang masih hidup di dunia ini.
5.
Analisis Data Berdasarkan Konsep Keselamatan dalam
Agama Kristiani
Agama Kristiani juga tidak menolak kematian. Di
hadapan mautlah teka-teki kenyataan manusia mencapai puncaknya. Kematian badan
menurut iman Kristiani akan dikalahkan, karena manusia akan dipulihkan oleh
Sang Penyelamat yang mahakuasa dan penuh belas kasihan kepada keselamatan.
Kristus, dengan wafat-Nya membebaskan manusia dari maut, dan telah bangkit
untuk kehidupan. Oleh karena itu, iman dalam Kristus menumbuhkan harapan bahwa
mereka telah menerima kehidupan sejati di hadirat Allah.
Praktek nyekar menyadarkan kita akan
kematian yang tidak dapat kita elakkan. Melalui kepercayaan iman terhadap
Kristus, umat Kristiani senantiasa memohon supaya para arwah orang yang telah
meninggal diampuni dosanya dan beryukur karena ada harapan Surgawi yang dinanti.
Dalam kematian, manusia lahiriah menghilang
seluruhnya, tetapi bersama dengan itu berkembanglah manusia batiniah. Dengan
melepaskan diri seluruhnya, manusia baru menemukan diri. Dan manusia menemukan
diri dalam penyerahan total kepada Allah.
Tradisi nyekar juga mengandung
penyerahan diri yang total dari pihak manusia yang masih hidup kepada Tuhan
atas permohonan ampun bagi dosa-dosa arwah orang beriman yang telah meninggal
dunia.
Paham keselamatan dalam tradisi Gereja bersumber dari
iman Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Perjanjian Lama
merumuskan situasi selamat itu dengan ungkapan “shalom”, artinya “suatu
keadaan mantap di mana hubungan manusia dalam kebersamaan (kolektivitas) dari
semua seginya adalah baik dan beres:
hubungan dengan sesama anggota masyarakat, dengan dunia sekitar, dan dengan
Allah. Dalam Perjanjian Lama ini, inti terdalam keselamatan yaitu hubungan
dengan Allah digarisbawahi dan ditekankan, meskipun lebih berwarna duniawi
yaitu berkat Allah dalam wujud kejayaan dan kedamaian duniawi. Sedangkan,
Perjanjian Baru mengungkapkan situasi selamat dengan dua kata: sooteria (penyelamatan dari sesuatu yang
buruk) dan eirene (perjanjian damai,
damai sejahtera, keselamatan dari Allah). Yang baru dalam Perjanjian Baru adalah
keadaan selamat itu dihubungkan dengan diri Yesus Kristus dan dengan karya Roh
Kudus. Dimensi relasi dengan Allah mendapat tekanan dan semakin dirasakan dalam
Perjanjian Baru. Kedatangan Yesus yang kedua memunculkan gagasan mengenai
pendamaian, penebusan. Melalui wafat-Nya, kuasa jahat dikalahkan, melalui
kebangkitan-Nya keadaan selamat dimulai. Pada saat itulah, semua orang yang
percaya dan menerima Roh Kristus mendapatkan keselamatan.
Selain paham keselamatan dari Kitab Suci, ada juga
paham keselamatan dari Pelagius dan Agustinus. Pelagius yang adalah seorang
rahib mempersoalkan bagaimana orang sampai pada keselamatan. Pelagius
menekankan usaha manusia. Sedangkan, Agustinus menekankan perlunya rahmat
Allah, karena manusia tidak mampu menyelamatkan dirinya sendiri (meneruskan
pandangan Paulus). Oleh karena itu, keselamatan itu anugerah; rahmat, dan bukan
hak manusia. Setelah Konsili Kartago, pandangan Pelagius dikutuk, kemudian muncul
Semipelagianisme yang berpandangan bahwa keselamatan datang dari Allah, tetapi
manusia harus memohon; inisiatif manusia. Konsili Orange II menolak
Semipelagianisme dengan berpendapat bahwa rahmat Allah itu mendahului manusia.
Tanpa rahmat Allah, manusia tidak bisa berbuat baik.
Dari penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa dasar
dan landasan keselamatan hanya Allah. Manusia tidak bisa menyelamatkan dirinya
sendiri. Kepercayaan Kristen mengajak orang untuk mempercayakan dirinya dan
seluruh eksistensinya kepada Allah tanpa syarat. Kepercayaan kepada Allah
menjadi nyata dalam Yesus Kristus, yang menjadi satu-satunya Juruselamat. Jadi,
secara jelas, keselamatan dalam pandangan agama Kristiani mengatakan bahwa orang percaya (beriman) wajib berusaha,
tetapi keberhasilan ada di tangan Tuhan yang menghendaki semua orang selamat.
Hasil analitis dari ritual nyekar dan paham keselamatan dari agama Islam disintesakan dengan
paham keselamatan dari agama Kristiani memiliki beberapa persamaan dan perbedaan.
Persamaan terletak pada pemahaman bahwa praktek ritual nyekar adalah salah satu sarana keselamatan tradisional
sosio-budaya yang ada di Jawa Tengah, khususnya di Jumapolo, yang bertujuan untuk
memohonkan ampun kepada Tuhan bagi dosa-dosa arwah orang yang telah meninggal
dunia, maupun sebagai permenungan diri akan realitas kematian, dan sebagai
permohonan berkah kepada Tuhan bagi diri sendiri serta keluarga yang masih
hidup di dunia ini. Perbedaannya terletak pada paham keselamatan mengenai dosa
dan penebusan dalam agama Islam dan dalam agama Kristiani seperti yang telah
dijelaskan di atas.
6.
Kesimpulan
Selama manusia hidup dalam keterbukaan kepada tujuan Hyang
Ilahi, dia menempuh jalan keselamatan. Sikap
terbuka itu adalah pertama-tama sikap batin dan pribadi, tetapi tak dapat
bertahan tanpa tata lahir dan sosial.
Oleh karena itu, manusia mengungkapkan sikap batin dan pribadi itu dalam bentuk
keagamaan yang diwariskan kepadanya. Selama manusia tidak menutup diri bagi
karya ilahi, ritual nyekar menjadi sarana
saluran rahmat.
Sikap batin itulah yang kiranya dapat menjadi kata
kunci dari ketiga analisis baik dari segi budaya jawa, dari agama Islam, dan
dari agama Katolik yang memampukan kita untuk secara dekat berelasi dengan
Tuhan. Agama jawa sangat kental dengan olah batinnya sehingga Allah ditemukan pada kedalaman-kedalaman
diri sebagai rasa yang murni.
Rasa mempunyai dua arti pokok: “perasaan”
(feeling) dan “makna” (meaning). Sebagai “perasaan”, rasa adalah salah satu
dari pancaindra orang Jawa, yaitu: melihat, mendengar, berbicara, membaui, dan
merasakan. Sebagai “makna”, rasa juga berarti “makna terakhir”, yakni makna
terdalam yang dicapai orang dengan usaha mistis dan yang kejelasannya
menjernihkan segala ambiguitas dari kehidupan duniawi.
Konsep jawa mengenai rasa ini
sangat mengena pada tradisi nyekar. Begitu
juga dengan pandangan agama Islam. Salah satu tokoh Shiah yaitu al-Husayn
mengatakan bahwa ziarah menjadi sangat penting, karena itu dapat berperan
sebagai “ungkapan bela rasa yang mendalam
pada korban”.
Hati jelas memegang peranan penting di sini. Bagi para penganut tasawwuf, hati juga menjadi tempat kediaman Allah,
hati adalah “cermin yang di dalamnya Allah memantulkan diri-Nya sendiri”.
Praktek ritual nyekar menjadi salah
satu tindakan “menggosok cermin”. Sedangkan, dalam agama katolik, ziarah
menjadi bentuk solidaritas kepada
sesama, terutama kepada orang yang sudah meninggal. Ziarah merupakan kegiatan
aktif dari manusia batiniah yang senantiasa merindukan “shalom, sooteria, dan eirene”
terpenuhi dalam hidup manusia di dunia ini.
Akhirnya, tesis umum yang ingin saya katakan adalah
bahwa “praktek ritual nyekar ini menjadi
salah satu bukti kekayaan tradisi Indonesia, yang merupakan perpaduan dari
agama dan budaya lokal Indonesia, yang di dalamnya mengandung kedalaman rasa
yang murni, cerminan hati manusia yang selalu merindukan keadaan damai melalui
lantunan doa sebagai bentuk solidaritas timbal-balik antara yang hidup dan yang
mati.” Konsep relasi dengan Tuhan dipahami secara dekat melalui ungkapan
doa dalam hati yang memiliki rasa dan solidaritas yang murni.
Daftar Pustaka
v Buku
Clifford Geertz.,
1992 Kebudayaan & Agama, Kanisius, Yogyakarta.
J.W.M. Bakker, SJ.,
1976 Agama Asli Indonesia, Puskat, Yogyakarta.
Mariasusai Dhavamony.,
1995 Fenomenologi Agama, Kanisius, Yogyakarta.
Dr. Nico Syukur Dister, OFM.,
2004 Teologi Sistematika 2; Ekonomi Keselamatan,
Kanisius, Yogyakarta.
Dr. C. Groenen, OFM.,
1989 Soteriologi Alkitabiah, Keselamatan yang
diberitakan Alkitab, Kanisius, Yogyakarta.
v Majalah
Heru Prakosa.,
2007 “Jiwa
yang Gelisah; Ziarah: Pengenangan dan Permenungan”, Majalah Basis, No. 09-10, Tahun ke-56, September-Oktober, 20.
v Internet
Hairus Salim HS.
Clifford
Geertz, Kebudayaan & Agama, 62.
Clifford
Geertz, Kebudayaan & Agama, 61.