Sabtu, 21 September 2013

Praktek Ritual "Nyekar"

Praktek Ritual Nyekar
Oleh : Antonius Invarien Alpha Andriyanto
                         
1.      Pengantar
Salah satu praktek ritual yang sering dilakukan oleh orang Jawa adalah tradisi nyekar yaitu tradisi mengunjungi makam orang terdekat yang sudah meninggal dan mendoakannya. Penulis yang adalah orang Jawa juga mempunyai pengalaman mengenai ritual nyekar ini. Ketika liburan, penulis diajak oleh keluarga untuk nyekar ke makam simbah yang sudah meninggal. Baik ke makam simbah yang tidak pernah penulis kenal dan jumpai maupun ke makam simbah yang pernah dikenal dekat oleh penulis semasa hidupnya. Tetapi, penulis seringkali melihat justru nyekar atau ziarah makam banyak dilakukan oleh orang-orang sebelum dan saat bulan Ramadhan atau hari raya Idul Fitri tiba. Dalam paper ini, penulis akan menjelaskan praktek ritual nyekar ditinjau dari perspektif budaya jawa, paham keselamatan dalam agama Islam dan agama Kristiani.

2.      Ritual Nyekar
Kematian setiap orang adalah merupakan suatu kepastian. Kematian sebagai pulang ke asal, bahkan tidak jarang pulang kepada Tuhan Pencipta (mendiang, ke-Hyang). Kesetiakawanan antara yang hidup dan yang mati. Yang hidup mendoakan almarhum; yang mati melantarkan berkat dan restu. Dia hilang, namun tak terlupa.[1] Pengembaraan dari tempat menghembus nafas terakhir sampai ke alam maut sejati menuntut waktu lama. Selama itu perlulah kurban, sajen, peraturan khusus dan tolak bala. [2] Seperti telah dijelaskan di atas bahwa kesetiakawanan orang yang hidup kepada orang yang mati adalah mendoakan arwah orang yang sudah meninggal itu dengan harapan bahwa arwah orang yang sudah meninggal itu juga akan mengantarkan doa-doa kita kepada Hyang Maha Kuasa dengan berkat dan restunya. Pengembaraan arwah hingga sampai kepada kebahagiaan kekal menuntut waktu yang lama. Selama itu, kita sebagai manusia hanya bisa mendoakan supaya perjalanannya lancer. Oleh karena itu, melalui berbagai sarana dan bentuk ritual yang ada, manusia mendoakan arwah orang yang sudah meninggal itu. Salah satunya adalah nyekar. Nyekar akan mengingatkan diri mereka bahwa setiap manusia kelak juga akan mengalami kematian.[3] 
Nyekar berasal dari kata Jawa ‘sekar’ yang berarti kembang atau bunga. Dalam praktiknya, memang ziarah ini melibatkan penaburan bunga di atas makam yang dikunjungi. Bahkan sebagian masyarakat ada yang menyertakan dupa dan kemenyan.[4]
Ritual nyekar ini dilaksanakan dengan beberapa langkah, antara lain;
1)      Ritual : Orang-orang yang akan melakukan ziarah makam atau nyekar ini biasanya datang ke kuburan atau sareyan dengan berjalan kaki. Tetapi, kini dimudahkan dengan alat trasnportasi. Makna : Ziarah makam dengan berjalan kaki mengandung makna bahwa hidup kita di dunia ini juga merupakan sebuah perjalanan peziarahan menuju tempat tertentu.
2)      Ritual : Orang –orang yang akan nyekar biasanya membawa bunga-bunga yang sudah dipetik dari kebun atau pekarangan rumah yang akan digunakan untuk nyekar. Itu dulu, kalau sekarang orang dapat membeli bunga pada penjual bunga yang ada di pinggiran jalan. Makna : Bunga tabur dimaknai sebagai bentuk persembahan yang dicampur dengan kemenyan sebagai wangi-wangian. Pecampuran bunga dan kemenyan tersebut melambangkan kesucian hidup manusia yang harum.
3)      Ritual : Setelah sampai di makam, baik dengan berjalan kaki maupun dengan alat transportasi, mereka tidak langsung berdoa tetapi membersihkan sekitar makam (menyapu daun-daun kering, dsb). Makna : Membersihkan sekitar makam mengandung makna bahwa kita perlu membersihkan diri (pikiran, hati dan tindakan) ketika kita akan berdoa memohon sesuatu pada Hyang Kuasa.
4)      Ritual : Setelah membersihkan makam, lalu doa dimulai. Doa dipimpin oleh penghulu atau modin (bila ada). Tetapi, jika tidak ada, doa biasanya dipimpin oleh orang yang dituakan atau sesepuh yang ikut nyekar. Makna : Makna dari adanya doa untuk arwah orang yang sudah meninggal ini adalah sebagai bentuk permohonan supaya sanak-keluarga yang masih hidup mendapat perlindungan, keselamatan, dan kesehatan. Selain itu, juga mendoakan perjalanan arwah supaya mendapat ketenangan dan kedamaian.
5)      Ritual : Sebelum pulang kembali ke rumah masing-masing, orang-orang yang nyekar akan mengucapkan terima kasih dan mohon perlindungan kepada arwah leluhur atau orang yang sudah meninggal tersebut. Makna : Makna dari mengucapkan kata-kata itu adalah sebagai ungkapan permohonan berkat dan restu serta ungkapan terima kasih kepada orang yang sudah meninggal itu.

Penulis akan menganalisis praktek ritual nyekar menurut tahap-tahap dalam Teori Van Gennep. Tahap-tahap itu antara lain;
1)      Geografis / masyarakat
Masyarakat yang akan dibicarakan oleh penulis adalah masyarakat Jawa Tengah tempat penulis berada. Khususnya di daerah Jumapolo, Karanganyar. Di sana masih banyak orang yang melakukan ziarah kubur atau nyekar ini terutama saat menjelang atau saat merayakan Hari Raya Idul Fitri.
2)      Harmoni
Suasana harmoni terjadi saat arwah orang yang meninggal itu mendapat kedamaian di surga. Suasana harmoni itu semakin nampak ketika selama satu tahun setelah Idul Fitri seluruh anggota keluarga senantiasa dilimpahi kesehatan, keselamatan, dan kebahagiaan.
3)      Disharmoni
Disharmoni terjadi ketika arwah orang yang meninggal itu masih sering menampakkan diri kepada sanak-saudara terdekat, baik secara inderawi maupun dalam mimpi. Dari situ, lalu muncul pengandaian bahwa arwah orang yang menampakkan diri itu belum mendapat tempat yang layak dan belum mendapatkan ketenangan. Maka dari itu, diperlukan ritus pemulihan supaya hubungan antara orang yang hidup dan orang yang sudah meninggal itu menjadi harmonis kembali.
4)      Ritus pemulihan
Suasana disharmoni itu harus dipulihkan melalui ritus penulihan supaya suasana kembali harmonis. Salah satu ritus pemulihan adalah nyekar atau ziarah kubur.
5)      Proses:
a)      Metanoia
Metanoia adalah proses ritual yang didalamnya mengandung kesadaran akan ketidakberesan. Dalam proses nyekar yang dimaksud adalah suasana perkabungan yang dialami ketika ‘ditinggal pergi’ oleh orang yang dicintai muncul kembali dalam ingatan maupun melalui penampakan dalam mimpi.
b)     Katarsis
Katarsis adalah proses ritual dimana kita mengenang saat-saat harmoni yaitu saat-saat kebersamaan dengan ‘orang yang telah meninggal’ semasa hidup dulu. Proses ritual ini diisi dengan mendoakan arwah orang yang telah meninggal dunia itu.
c)      Paripatia
Paripatia adalah proses ritual dimana mulai mensyukuri pemulihan harmoni yang telah terjadi. Orang menjadi damai dan tenang karena telah mendoakan arwah orang yang telah meninggal. Makanan dan minuman menjadi bentuk sukacita bersama atas pembebasan dosa arwah yang telah dimohonkan dalam doa tersebut.

3.      Pertanyaan Teologis
Sebuah pertanyaan teologis mengenai tradisi nyekar adalah “bagaimana konsep relasi dengan Tuhan dapat dipahami secara dekat melalui orang yang telah meninggal?”

4.      Analisis “nyekar” berdasarkan Konsep Keselamatan dalam Agama Islam
Di dalam nyekar, yang pasti dan umum terjadi, adalah pembersihan makam dan pembacaan himpunan doa atau bagian dari surat Al-Quran. Jika mereka yang nyekar ini tidak ada yang bisa membaca doa sendiri (umumnya dalam bahasa Arab), di pemakaman umum biasanya ada juru kunci atau guru agama yang bisa membantu memimpin dan memandu pembacaan ini.  Tradisi ini diyakini diperkenalkan oleh para wali yang di satu sisi meneruskan tradisi penghormatan kepada roh leluhur di kalangan masyarakat Jawa yang masih menganut ajaran Hindu-Budha saat itu dan di sisi lain menyelaraskan dan membingkainya dengan ajaran Islam.  Oleh karena itu, nyekar bisa dikatakan suatu bentuk dari pribumisasi Islam, akomodasi Islam pada tradisi lokal. Secara teologis, tradisi ini memang masih memiliki hubungan dengan akidah Islam tentang kematian  bahwa setelah manusia meninggal, rohnya akan meninggalkan jasad dan akan berada di alam barzakh hingga nanti hari kebangkitan atau hari kiamat. Ziarah makam atau nyekar ini juga memiliki dasar-dasarnya di dalam Islam sebagaimana termaktub dalam hadits nabi yang diriwayatkan Muslim, Abu Dawud, dan at-Tarmizi: “Dahulu aku telah melarangmu berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah, karena sesungguhnya ziarah kubur itu mengingatkan akhirat.” [5]
Tradisi nyekar ini oleh umat muslim diyakini diperkenalkan oleh para wali. Secara etimologis, kata wali berarti “seseorang yang ada di bawah naungan”, atau “kawan dekat” [6]. Dengan demikian pengertian wali menunjuk pada seseorang yang karya dan karakternya telah mengalami transformasi, sampai semuanya itu (seperti yang terjadi pada suatu cermin) dapat memantulkan sifat kudus Allah sendiri. Ziarah sebagai kunjungan ke makam-makam seperti yang terkait dengan para wali sempat memperoleh kritik dari beberapa pemikir Muslim. Suara paling keras dan tajam berasal dari para pengikut Hanbali, salah satunya adalah Ibn Taymiyya (m. 1328). Reaksi para pengikut Wahhabi tak kalah kerasnya. ‘Abd al-Wahhab (m. 1791), pendiri Wahabbiyya berhasil menguasai Mekkah dan Madina serta daerah sekelilingnya, lalu menghancurkan makam serta segala peninggalam keluarga Nabi. Mereka menolak segala bentuk ziarah dan tindakan ritual yang berhubungan dengannya, karena di mata mereka, semuanya itu dapat membawa pada upaya penyekutuan (shirk) dan bidaah (bid’a). Jauh sebelum itu, al-Ghazali (m. 1111) sudah menyampaikan gagasannya untuk membela praktik ziarah di kalangan kaum Muslim. Menurut al-Ghazali, ziarah akan dapat mengantar orang untuk memiliki sikap penyerahan diri. Bagi al-Ghazali, tujuan ziarah tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mengadakan “permenungan dan sekaligus pengenangan akan kematian”, di samping tentu saja juga “permohonan berkah”.[7]
Konsep keselamatan menurut agama Islam dapat kita pahami paling tidak melalui dua hal yang penting; yang pertama, dosa memasuki kehidupan manusia ketika manusia melupakan kebaikan Tuhan Allah dan berbuat salah kepada dirinya sendiri dengan melakukan perbuatan-perbuatan jahat yang hanya dapat ia sesali dan dimohonkan ampun[8] dan yang kedua, oleh karena kedosaan itu diperoleh dan bukan diwariskan, jadi, bagi Islam tidak ada keperluan penebusan, tidak ada metode pertobatan lewat jalan penebusan[9] , hanya Allah yang dapat mengampuni dosa. Oleh karena itu dapat kita simpulkan bahwa setelah terlibat dalam dosa, seseorang harus ‘ingat akan Allah dan memohon ampun bagi dosa-dosanya dan janganlah terus-menerus berada dalam perbuatan dosa’[10]. Konsep keselamatan itu secara konkrit dapat dilakukan dengan mengikuti perintah-perintah Allah dan teladan Rasul, serta menaati hukum. Maka, iman mutlak diperlukan dan sarana-sarana untuk mencapai keselamatan adalah dengan melakukan doa ritual, Ramadhan, ziarah, memperhatikan kaum miskin, dsb.
Dari penjelasan di atas, menjadi jelas bahwa praktek ritual nyekar dalam agama Islam sendiri menimbulkan polemik atau ketegangan. Disatu sisi, para wali mengizinkan adanya praktek ziarah makam untuk meneruskan tradisi penghormatan kepada roh leluhur di kalangan masyarakat Jawa yang masih menganut ajaran Hindu-Budha saat itu dan membingkainya dengan ajaran Islam, tetapi juga di sisi lain, praktek ziarah makam memperoleh kritik dari beberapa pemikir Muslim yaitu para pengikut Hanbali dan para pengikut Wahhabi, karena semuanya itu dianggap dapat membawa kepada penyekutuan (shirk) dan bidaah (bid’a). Namun, terlepas dari kedua ketegangan itu, kini agama Islam memasukkan ziarah makam atau nyekar itu sebagai salah satu sarana keselamatan untuk memohonkan ampun bagi dosa-dosa arwah orang yang telah meninggal dunia, maupun sebagai permenungan diri akan realitas kematian serta permohonan berkah bagi diri sendiri dan keluarga yang masih hidup di dunia ini.

5.      Analisis Data Berdasarkan Konsep Keselamatan dalam Agama Kristiani
Agama Kristiani juga tidak menolak kematian. Di hadapan mautlah teka-teki kenyataan manusia mencapai puncaknya. Kematian badan menurut iman Kristiani akan dikalahkan, karena manusia akan dipulihkan oleh Sang Penyelamat yang mahakuasa dan penuh belas kasihan kepada keselamatan. Kristus, dengan wafat-Nya membebaskan manusia dari maut, dan telah bangkit untuk kehidupan. Oleh karena itu, iman dalam Kristus menumbuhkan harapan bahwa mereka telah menerima kehidupan sejati di hadirat Allah.[11] Praktek nyekar menyadarkan kita akan kematian yang tidak dapat kita elakkan. Melalui kepercayaan iman terhadap Kristus, umat Kristiani senantiasa memohon supaya para arwah orang yang telah meninggal diampuni dosanya dan beryukur karena ada harapan Surgawi yang dinanti.
Dalam kematian, manusia lahiriah menghilang seluruhnya, tetapi bersama dengan itu berkembanglah manusia batiniah. Dengan melepaskan diri seluruhnya, manusia baru menemukan diri. Dan manusia menemukan diri dalam penyerahan total kepada Allah.[12] Tradisi nyekar juga mengandung penyerahan diri yang total dari pihak manusia yang masih hidup kepada Tuhan atas permohonan ampun bagi dosa-dosa arwah orang beriman yang telah meninggal dunia.
Paham keselamatan dalam tradisi Gereja bersumber dari iman Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Perjanjian Lama merumuskan situasi selamat itu dengan ungkapan “shalom”, artinya “suatu keadaan mantap di mana hubungan manusia dalam kebersamaan (kolektivitas) dari semua seginya adalah baik dan beres[13]: hubungan dengan sesama anggota masyarakat, dengan dunia sekitar, dan dengan Allah. Dalam Perjanjian Lama ini, inti terdalam keselamatan yaitu hubungan dengan Allah digarisbawahi dan ditekankan, meskipun lebih berwarna duniawi yaitu berkat Allah dalam wujud kejayaan dan kedamaian duniawi. Sedangkan, Perjanjian Baru mengungkapkan situasi selamat dengan dua kata: sooteria (penyelamatan dari sesuatu yang buruk) dan eirene (perjanjian damai, damai sejahtera, keselamatan dari Allah). Yang baru dalam Perjanjian Baru adalah keadaan selamat itu dihubungkan dengan diri Yesus Kristus dan dengan karya Roh Kudus. Dimensi relasi dengan Allah mendapat tekanan dan semakin dirasakan dalam Perjanjian Baru. Kedatangan Yesus yang kedua memunculkan gagasan mengenai pendamaian, penebusan. Melalui wafat-Nya, kuasa jahat dikalahkan, melalui kebangkitan-Nya keadaan selamat dimulai. Pada saat itulah, semua orang yang percaya dan menerima Roh Kristus mendapatkan keselamatan.
Selain paham keselamatan dari Kitab Suci, ada juga paham keselamatan dari Pelagius dan Agustinus. Pelagius yang adalah seorang rahib mempersoalkan bagaimana orang sampai pada keselamatan. Pelagius menekankan usaha manusia. Sedangkan, Agustinus menekankan perlunya rahmat Allah, karena manusia tidak mampu menyelamatkan dirinya sendiri (meneruskan pandangan Paulus). Oleh karena itu, keselamatan itu anugerah; rahmat, dan bukan hak manusia. Setelah Konsili Kartago, pandangan Pelagius dikutuk, kemudian muncul Semipelagianisme yang berpandangan bahwa keselamatan datang dari Allah, tetapi manusia harus memohon; inisiatif manusia. Konsili Orange II menolak Semipelagianisme dengan berpendapat bahwa rahmat Allah itu mendahului manusia. Tanpa rahmat Allah, manusia tidak bisa berbuat baik.
Dari penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa dasar dan landasan keselamatan hanya Allah. Manusia tidak bisa menyelamatkan dirinya sendiri. Kepercayaan Kristen mengajak orang untuk mempercayakan dirinya dan seluruh eksistensinya kepada Allah tanpa syarat. Kepercayaan kepada Allah menjadi nyata dalam Yesus Kristus, yang menjadi satu-satunya Juruselamat. Jadi, secara jelas, keselamatan dalam pandangan agama Kristiani mengatakan bahwa orang percaya (beriman) wajib berusaha, tetapi keberhasilan ada di tangan Tuhan yang menghendaki semua orang selamat[14].
Hasil analitis dari ritual nyekar dan paham keselamatan dari agama Islam disintesakan dengan paham keselamatan dari agama Kristiani memiliki beberapa persamaan dan perbedaan. Persamaan terletak pada pemahaman bahwa praktek ritual nyekar adalah salah satu sarana keselamatan tradisional sosio-budaya yang ada di Jawa Tengah, khususnya di Jumapolo, yang bertujuan untuk memohonkan ampun kepada Tuhan bagi dosa-dosa arwah orang yang telah meninggal dunia, maupun sebagai permenungan diri akan realitas kematian, dan sebagai permohonan berkah kepada Tuhan bagi diri sendiri serta keluarga yang masih hidup di dunia ini. Perbedaannya terletak pada paham keselamatan mengenai dosa dan penebusan dalam agama Islam dan dalam agama Kristiani seperti yang telah dijelaskan di atas.

6.      Kesimpulan
Selama manusia hidup dalam keterbukaan kepada tujuan Hyang Ilahi, dia menempuh jalan keselamatan. Sikap terbuka itu adalah pertama-tama sikap batin dan pribadi, tetapi tak dapat bertahan tanpa tata lahir dan sosial[15]. Oleh karena itu, manusia mengungkapkan sikap batin dan pribadi itu dalam bentuk keagamaan yang diwariskan kepadanya. Selama manusia tidak menutup diri bagi karya ilahi, ritual nyekar menjadi sarana saluran rahmat.
Sikap batin itulah yang kiranya dapat menjadi kata kunci dari ketiga analisis baik dari segi budaya jawa, dari agama Islam, dan dari agama Katolik yang memampukan kita untuk secara dekat berelasi dengan Tuhan. Agama jawa sangat kental dengan olah batinnya sehingga Allah ditemukan pada kedalaman-kedalaman diri sebagai rasa yang murni[16]. Rasa mempunyai dua arti pokok: “perasaan” (feeling) dan “makna” (meaning). Sebagai “perasaan”, rasa adalah salah satu dari pancaindra orang Jawa, yaitu: melihat, mendengar, berbicara, membaui, dan merasakan. Sebagai “makna”, rasa juga berarti “makna terakhir”, yakni makna terdalam yang dicapai orang dengan usaha mistis dan yang kejelasannya menjernihkan segala ambiguitas dari kehidupan duniawi[17]. Konsep jawa mengenai rasa ini sangat mengena pada tradisi nyekar. Begitu juga dengan pandangan agama Islam. Salah satu tokoh Shiah yaitu al-Husayn mengatakan bahwa ziarah menjadi sangat penting, karena itu dapat berperan sebagai “ungkapan bela rasa yang mendalam pada korban”[18]. Hati jelas memegang peranan penting di sini. Bagi para penganut tasawwuf, hati juga menjadi tempat kediaman Allah, hati adalah “cermin yang di dalamnya Allah memantulkan diri-Nya sendiri”[19]. Praktek ritual nyekar menjadi salah satu tindakan “menggosok cermin”. Sedangkan, dalam agama katolik, ziarah menjadi bentuk solidaritas kepada sesama, terutama kepada orang yang sudah meninggal. Ziarah merupakan kegiatan aktif dari manusia batiniah yang senantiasa merindukan “shalom, sooteria, dan eirene” terpenuhi dalam hidup manusia di dunia ini.
Akhirnya, tesis umum yang ingin saya katakan adalah bahwa “praktek ritual nyekar ini menjadi salah satu bukti kekayaan tradisi Indonesia, yang merupakan perpaduan dari agama dan budaya lokal Indonesia, yang di dalamnya mengandung kedalaman rasa yang murni, cerminan hati manusia yang selalu merindukan keadaan damai melalui lantunan doa sebagai bentuk solidaritas timbal-balik antara yang hidup dan yang mati.” Konsep relasi dengan Tuhan dipahami secara dekat melalui ungkapan doa dalam hati yang memiliki rasa dan solidaritas yang murni.
Daftar Pustaka
v  Buku
Clifford Geertz.,
1992    Kebudayaan & Agama, Kanisius, Yogyakarta.
J.W.M. Bakker, SJ.,
1976    Agama Asli Indonesia, Puskat, Yogyakarta.
Mariasusai Dhavamony.,
1995    Fenomenologi Agama, Kanisius, Yogyakarta.
Dr. Nico Syukur Dister, OFM.,
2004    Teologi Sistematika 2; Ekonomi Keselamatan, Kanisius, Yogyakarta.
Dr. C. Groenen, OFM.,
1989    Soteriologi Alkitabiah, Keselamatan yang diberitakan Alkitab, Kanisius, Yogyakarta.
v  Majalah
Heru Prakosa.,
2007    “Jiwa yang Gelisah; Ziarah: Pengenangan dan Permenungan”, Majalah Basis, No. 09-10, Tahun ke-56, September-Oktober, 20.
v  Internet
Hairus Salim HS.







[1] Clifford Geertz, Kebudayaan & Agama, Kanisius., Yogyakarta 1992, 61.
[2] J.W.M. Bakker, SJ, Agama Asli Indonesia, Puskat., Yogyakarta 1976, 153.
[6] Heru Prakosa, “Jiwa yang Gelisah; Ziarah: Pengenangan dan Permenungan”, Majalah Basis, No. 09-10, Tahun ke-56, September-Oktober 2007, 20.
[7] Heru Prakosa, “Jiwa yang Gelisah; Ziarah: Pengenangan dan Permenungan”, 21.
[8] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, Kanisius., Yogyakarta 1995, 313.
[9] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, 314.
[10] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, 314.
[11] Bdk. Gaudium et Spes art. 18
[12] Dr. Nico Syukur Dister, OFM, Teologi Sistematika 2; Ekonomi Keselamatan, Kanisius., Yogyakarta 2004, 574.
[13] Dr. C. Groenen, OFM, Soteriologi Alkitabiah, Keselamatan yang diberitakan Alkitab, Kanisius., Yogyakarta 1989, 52.
[14] Dr. C. Groenen, OFM, Soteriologi Alkitabiah, Keselamatan yang diberitakan Alkitab, 262.
[15] J.W.M. Bakker, SJ, Agama Asli Indonesia, 162.
[16] Clifford Geertz, Kebudayaan & Agama, 62.
[17] Clifford Geertz, Kebudayaan & Agama, 61.
[18] Heru Prakosa, “Jiwa yang Gelisah; Ziarah: Pengenangan dan Permenungan”, 23.
[19] Heru Prakosa, “Jiwa yang Gelisah; Ziarah: Pengenangan dan Permenungan”, 24.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar