Kamis, 15 Desember 2011

Refleksi Live In di Jumapolo (Mata Kuliah "Sejarah Gereja Indonesia dan Missiologi")

Pelangi Dalam Serpihan Iman

Prolog
Vivida vis animi”, kekuatan yang hidup dari jiwa. Kalimat ini merupakan sebuah pepatah Latin yang ingin menggambarkan bahwa dalam diri manusia terdapat kekuatan yang mampu mengubah segala sesuatu. Kalau mau dihubungkan dengan apa yang ditulis ini, pepatah tersebut mendeskripsikan bahwa setiap manusia memiliki kekuatan untuk mengembangkan dan menumbuhkan benih-benih iman di tanah Karang Bangun.
Karangbangun adalah salah satu nama desa di daerah Jumapolo, Solo pinggiran. Daerah ini memiliki jarak 7 km dari Paroki Santo Stephanus Jumapolo. Rasanya cukup jauh memang daerah ini, juga dengan jalan yang berkelok-kelok dan naik turun. Pikiran kami mengatakan seperti inilah memang konsekuensi untuk menaburkan benih iman pada masa yang lampau.
Kemudian kami melihat sekeliling kami ketika kami sedang menuju ke daerah itu,  banyak sawah-sawah terhampar luas dan juga tanaman-tanaman pangan hasil kerja keras masyarakat sekitar. Pada akhirnya sampailah di sebuah gapura besar bertuliskan Desa Karangbangun. Di sinilah kami menjejakkan kaki dan mencoba menelusuri benih iman di daerah ini.

Letak Geografis
Wilayah Karangbangun terbagi dalam tujuh lingkungan: lingkungan Karangbangun I, Karangbangun II, Karangbangun III, Karangbangun IV, Karangbangun V, Jatipuro dan Jatiyoso. Benih iman yang kami gali adalah lingkungan Karangbangun IV. Secara geografis, sebelah timur wilayah Karangbangun IV berbatasan dengan Karangangun V, sebelah  barat berbatasan dengan Karangbangun II, sebelah utara berbatasan dengan wilayah persawahan atau masyarakat sekitar menyebutnya Ngentak dan sebelah selatan berbatasan dengan Karangbangun II.
Hubungan penduduk Karangbangun IV dengan daerah lain berjalan dengan lancar. Setiap penduduk memiliki sarana transportasi masing-masing dan kebanyakan adalah motor. Daerah ini juga memiliki jalan yang bisa dikatakan sudah diaspal namun masih terdapat kerikil-kerikil di sekitar jalan tersebut. Sawah-sawah dan tanaman pertanian yang lain terdapat juga di daerah ini.
Udara di daerah ini sejuk karena pohon-pohon besar dan rindang masih terpelihara dengan baik di daerah ini. Ketika malam tiba, daerah ini menjadi sunyi dan sepi. Tidak ada lagi motor yang melintasi daerah ini, hanya suara jangkrik yang terus terdengar hingga pagi menjelang.

Situasi Sosial dan Ekonomi Masyarakat
Ketika kami tiba di daerah Karangbangun IV ini, kami mengira bahwa mata pencaharian para warga sekitar khususnya umat Katolik adalah petani. Hal ini didasarkan pada sawah-sawah luas yang ada di daerah ini dan banyak tanaman pertanian yang lainnya. Tetapi ternyata pandangan kami keliru. Banyaknya sawah atau tanaman pertanian tidak bisa dijadikan bukti bahwa mata pencaharian warga tersebut adalah petani. Ternyata umat Katolik di daerah Karangbangun IV ini kebanyakan bermata pencaharian sebagai guru.
Jika kami memprosentasekan, umat Katolik yang bermata pencaharian sebagai petani di daerah ini hanya 40%, sisanya adalah guru baik itu SD maupun SMA. Ini berarti bahwa kelas sosial umat Katolik lingkungan Karangbangun IV tergolong sebagai kelas menengah dengan tingkat pendidikan yang terbilang cukup. Jumlah penduduk Karangbangun IV adalah 41 kepala keluarga. Dari 41 kepala keluarga itu, 32 di antaranya memeluk agama Katolik dan sisanya agama Islam. Ini berarti bahwa mayoritas penduduk Karangbangun IV adalah beragama Katolik.
Dalam kehidupan bersama, umat Katolik di Karangbangun IV pada umumnya mampu menciptakan kerukunan dan keakraban dengan pemeluk agama lain, walaupun kami melihat ada endensi bahwa daerah Karangbangun IV ini mulai dikelilingi oleh mesjid-mesjid di setiap sudutnya.
Kaum muda di daerah ini rasanya amat minim. Jarang dijumpai kaum muda di wilayah ini. Minimnya kaum muda di daerah Karangbangun IV ini disebakan karena banyak dari kaum muda menimba ilmu di luar daerah Jumapolo, misalnya saja di Karanganyar, Solo ataupun Yogyakarta. Selain itu pula, banyak warga masyarakat sekitar yang merantau ke luar daerah untuk mencari pekerjaan. Kekhasan atau kekuatan ekonomi daerah Karangbangun IV adalah hasil buminya, contohnya: durian, rambutan, padi, pace, kacang dan jagung.

Kisah Iman yang Takkan Padam
Adalah SD Kanisius Karangbangun yang menjadi tulang punggung pengenalan dan penyebaran agama Katolik di Karangbangun. Dari sekoah dasar inilah, anak-anak mulai mengenal pelajaran agama Katolik. Sekolah yang didirikan pada tahun 1967 ini seakan-akan menjadi lahan yang subur bagi perkembangan dan penyebaran iman umat. Jadi, pengaruh SD Kanisius itu membuat anak-anak menjadi Katolik dan diikuti juga oleh orang tua mereka. Selain SD Kanisius, ada pula TPA (Tempat Pelajaran Agama) bagi anak-anak SD dan SMP.
Seorang bapak bernama Yakobus Sularyono adalah perintis awal dari penyebaran iman di daerah Karangbangun ini. Ia adalah seorang murid angkatan pertama SD Kanisius Karangbangun yang pada awalnya berada di daerah Lemahbang. SD Karangbangun ini didirikan oleh Romo-romo SJ dari Paroki Purbayan, Solo. Bapak Yakobus Sularyono gigih untuk menyebarkan agama Katolik di daerah Karangbangun terutama pada anak-anak. Ia mulai aktif untuk menyebarkan iman Katolik pada tahun 1950-an dengan berkeliling dari desa ke desa.
Penyebaran iman Katolik di daerah Karangbangun IV ini kemudian diestafetkan kepada ibu Kristina Suyati pada tahun 1959 dan kemudian pada tahun 1960 oleh ibu Mulyati. Pada tahun 1963 mulai berdatangan orang-orang dari luar daerah Karangbangun untuk menyebarakan iman Katolik. Diawali oleh Bapak St. Djuwarno yang berasal dari daerah Sragen. Ia juga turut membantu penyebaran iman Katolik di daerah Karangbangun IV. Bapak St. Djuwarno memang bukan berasal dari daerah Karangbangun IV, ia lahir di Wonogiri dan dibaptis ketika ia duduk di kelas 3 SD.
Sejak tahun 1963, Bapak St. Djuwarno tinggal di daerah Karangbangun IV dan berkarya sebagai guru SD di daerah ini. Tuntutan utama dari seorang guru di SD Kanisius ini adalah harus bisa mengajar agama walaupun bukan mata pelajaran yang spesifik dari masing-masing guru. Oleh karena itu, dengan segala kemampuan dan keahliannya, Bapak St. Djuwarno dituntut untuk mampu memperkenalkan agama Katolik secara kreatif kepada muridnya.
Kegiatan mengajar agama dilakukan oleh Bapak St. Djuwarno pada hari Sabtu malam minggu dengan mengambil tempat di salah satu rumah murid yang diasuh oleh Bapak St. Djuwarno. Dari pengalaman mengajar agama ini, Bapak St. Djuwarno mendapatkan suka dan duka tersendiri. Sukanya adalah dapat berkumpul bersama dan saling bertukar pengalaman, dalam artian bahwa dari pertemuan tersebut ada keakraban di mana masing-masing dapat saling memberi dan menerima. Pengalaman duka yang ia rasakan adalah seolah-olah ia merasa dipaksa untuk pergi kesana-kemari sehingga sungguh menyita tenaga dan pikiran.
Peran dari Bapak St. Djuwarno tidak hanya sampai di situ saja. Di dalam lingkungan ia berperan sebagai ketua BAKAT ( Bapak-Bapak Katolik) atau BABU (Bapak-Ibu Katolik). Juga menjadi pemandu pertemuan BKSN di bulan September. Dari pengalaman itu, ia dapat melihat buah-buah atau hasil yang dicapai yakni dapat merukunkan dan menyatukan kelompok melalui doa-doa serta juga dapat melatih hidup menggereja.
 Tahun 1967 merupakan tahun-tahun yang sulit bagi umat Katolik. Pada tahun ini tokoh-tokoh umat Katolik menjadi incaran. Oleh karena itu, peristiwa Gestok menjadi beban bagi umat Katolik. Pada umumnya umat Katolik di masa itu bersembunyi di hutan-hutan supaya mendapat perlindungan. Tenaga guru juga semakin berkurang karena peristiwa G 30 S/ PKI tersebut karena seringkali dianggap tersangka oleh pemerintah.
Pada tahun 1970, muncul seorang Katolik dari Tengklik namanya Bapak Agustinus Karmanto. Sejak awal, Bapak Karmanto berprofesi sebagai guru. Tahun 1947 ia masuk SR (Sekolah Rakyat) tetapi pada tahun 1948/1949, ia keluar dari SR karena situasi keamanan kurang menjamin. Pada tahun itu sekutu datang ke Indonesia, maka ia memutuskan untuk keluar sementara dari SR. Pada tahun 1953/1954, ia lulus dari SR dan tahun 1959 ia menjadi guru di Banyumas. Sebelas tahun kemudian, ia pindah ke Karangbangun dan menjadi guru SD Negeri di daerah itu.
Tahun 1970, Pak Karmanto dan Pak Djuwarno mulai mengumpulkan anak-anak dan pemuda-pemuda. Bersama Pak Djuwarno mengadakan pelajaran agama Katolik 1 minggu sekali. Kedua orang itu membagi tugas dalam pengajaran agama. Pak Djuwarno mendapat bagian mencari dan menyanyikan lagu-lagu sedangkan Pak Karmanto mendapat bagian “ndongeng” dari Kitab Suci Babad Suci. Pak Karmanto sendiri adalah guru SD Negeri. Pada pagi hari ia mengajar di sekolah dan sore harinya memberikan pendalaman iman. Dalam arti tertentu ia menjadi seorang katekis yang mencoba menumbuhkan benih iman di daerah Karangbangun IV. Dari pengalaman iman itulah banyak orang akhirnya memberikan dirinya untuk dibaptis. Pak Karmanto mengajar agama dalam jumlah yang terbatas. Ia hanya mengajar lulusan SD dan SMP yang belum dibaptis ataupun orang-orang yang sudah tua-tua atau sepuh.
Metode pelajaran agama yang dilakukan oleh Pak Karmanto biasanya diawali nyanyian dari Kidung Adi kemudian dilanjutkan dengan dongeng yang diambil dari Injil disertai dengan gambar sehingga menarik dan mudah diingat. Kalau murid-murid bosan biasanya diselingi dengan nyanyian atau melihat-lihat gambar. Secara umum pelajaran agama yang diampu oleh Pak Karmanto menggunakan bahasa Jawa juga tanya jawab pada session terakhir pelajaran agama tersebut.
Peran dari Pak Karmanto selain sebagai guru agama katolik adalah turut berpartisipasi dalam pembangunan gereja stasi di Karangbangun II. Ia melihat fenomena di mana keadaan umat semakin berkembang. Oleh karena itu, umat Katolik di Karangbangun membutuhkan gereja atau rumah ibadat. Setiap kali mengadakan pertemuan pendalaman iman, umat Katolik Karangbangun merindukan untuk memiliki rumah ibadat sendiri. Maka pada tahun 1993, mulailah rencana itu. Dengan bantuan dana dari paroki-paroki, Keuskupan Agung Semarang, hasil penjualan durian dan donatur-donatur akhirnya umat Katolik di Karangbangun membeli sebidang tanah milik Pak Sunardi. Kini dari hasil kerja keras itulah mereka dapat memiliki gereja yang mereka idam-idamkan sejak lama.
Banyak sekali tantangan-tantangan yang dihadapi dalam menyebarkan agama katolik di daerah ini. Bapak Kasino mempunyai pengalaman bagaimana dirinya beserta Br. Canisius, BM dan Pak Parno sempat dianggap mengkristenkan. Selain itu pula, setelah gereja Karangbangun berdiri banyak orang mengatakan bahwa,” jika satu gereja berdiri, maka harus ada 30 mesjid yang didirikan.” Ini semua merupakan tantangan harus dihadapi dalam meyebarkan agama katolik. Umat Katolik sendiri pada umumnya seringkali dianggap orang asing di bumi pertiwi ini, padahal sejak lahir ia tinggal di negara tercinta ini. Sulit rasanya mengubah pandangan ini, tetapi dari situlah sebenaranya iman katolik tidak akan pernah lenyap walaupun diemapas oleh ombak sekalipun.

 “Pelangi” yang menyibakkan mata
Ketika masa SMP, seringkali ketika akan berangkat ke sekolah aku melihat seberkas pelangi di ketinggian langit. Indah dan mengagumkan sekali. Saat itu memang musim hujan, dan saat itu mulai aku perpikir bagaimana pelangi itu bisa terjadi. Cahaya matahari adalah cahaya polikromatik (terdiri dari banyak warna). Warna putih cahaya matahari sebenarnya adalah gabungan dari berbagai cahaya dengan panjang gelombang yang berbeda-beda. Cahaya yang bisa ditangkap oleh mata manusia dengan tanpa alat bantu hanya 7 warna yaitu warna merah, jingga, kuning, nila, dan ungu. Warna-warna tersebut disebut juga dengan cahaya tampak.
Pelangi terjadi apabila cahaya mengalami pembiasan ketika cahaya matahari terkena air hujan. Pelangi hanya dapat dilihat pada saat ada hujan disertai dengan cahaya matahari. Posisi pengamat juga menentukan, yaitu diantara hujan dan sinar matahari, dan sinar matahari berada di belakang si pengamat. Sehingga terjadi garis lurus antara matahari, pengamat, dan busur pelangi. Akibatnya terbentuklah pelangi dari hasil pembiasan dan posisi pengamat tadi. Memang ini lebih mengarah pada bagaimana memahami fenomena alam dan yang lebih sering kita sebut sebagai ilmu alam. Sungguh mengagumkan dan betapa sebenarnya kita bisa sampai pada rasa syukur yang mendalam dan hangat akan karya cipta Allah bagi manusia. Manusia yang dicipta dan manusia yang dicinta oleh-Nya dengan segala yang Allah ciptakan sebelum manusia. Dialah Allah yang Maha Baik.
Itulah pelangi! Mengagumkan dan sekaligus meninggalkan kesan yang mewah akan indah dan agungnya Sang Pencipta. Memang, pelangi tidak lain adalah busur spektrum besar yang terjadi karena pembiasan cahaya matahari oleh butir-butir air. Ketika cahaya matahari melewati butiran air, ia membias seperti ketika melalui prisma kaca. Jadi, di dalam tetesan air, kita sudah mendapatkan warna yang berbeda memanjang dari satu sisi ke sisi tetesan air lainnya. Beberapa dari cahaya berwarna ini kemudian dipantulkan dari sisi yang jauh pada tetesan air, kembali dan keluar lagi dari tetesan air.
Indah, mengesankan, mengagumkan dan menimbulkan kesan bangga inilah yang juga ingin kami kenakan pada umat Karangbangun, khususnya bagi para guru-pendidik yang dengan segala kekhasannya masing turut ambil bagian dalam pewartaan iman terutama di lingkungan Karangbangun IV. Entah disadari atau tidak, faktanya mereka sungguh terlihat berada di barisan terdepan dalam pembangunan rohani umat di samping peranan para gembala Gereja. Kehadiran mereka memberi nuansa tersendiri bagi banyak orang dan tidak hanya tertutup pada kaum gerejani saja. Baik kehidupan maupun cara mereka berada di lingkup pendidikan ataupun dalam bermasyarakat tidaklah dapat dipisah-pisahkan satu dengan yang lainnya. Itu sudah menjadi bagian hidup mereka. Ketika mereka berkarya, terutama di bidang pendidikan mereka bukan hanya membawa diri mereka yang punya jabatan dan profesi sebagai pendidik. Bagi mereka, sudah keharusan bahwa karya dan hidup sebagai orang kristiani diintegrasikan dalam segala dimensi hidup. Oleh karenanya, apapun yang mereka lakukan, itu pun mencerminkan kehidupan mereka sebagai abdi Kristus.
Paroki Jumapolo yang memiliki cukup banyak wilayah dan lingkungan tentunya merasa bersyukur atas kehidupan umat dalam keterlibatannya dalam hidup menggereja dan bermasyarakat yang sudah dirintis sejak puluhan tahun silam. Sudah bukan menjadi barang asing lagi bahwa kehidupan masyarakat pedesaan lebih mampu menjaga keseimbangan alam dan harmonisasi kehidupan. Tak dapat dipungkiri juga bahwa pluralisme baik budaya, agama, masyarakat dan seterusnya, mau tidak mau menjadi suatu hal yang tentunya tetap diperhatikan untuk senantiasa dijaga dan dihormati agar tetap pada tempatnya.
Tentu saja hal ini menjadi kekhasan umum bagaimana kehidupan pedesaan yang sarat akan kehidupan alamiahnya ternyata mampu menciptakan keharmonisan baik alam maupun hidup bermasyarakat. Namun, tidak juga kita menutup mata akan beberapa hal lain yang terkadang justru muncul di wilayah ini, misalnya terorisme. Dalam kehidupan sosial masyarakat, umat katolik di wilayah Karangbangun mendapat tempat yang cukup baik dan terhormat di masyarakat. Banyak orang katolik menjadi pionir dalam bermasyarakat. Misalnya : menjadi ketua BPS, ketua RT, Kepala Desa, dan berbagai posisi penting dalam tata masyarakat. Dalam hal kemasyarakatan, umat katolik merasa beryukur karena diberi kepercayaan lebih terutama dalam partisipasinya mensejahterakan dan memimpin masyarakat. Ini semua disyukuri sebagai anugerah Allah yang luar biasa. Nilai-nilai kristiani dan cinta kasih tetap dibawa dan diterapkan dalam segala usaha untuk membangun masyarakat.
Dalam hal ini juga, kami hendak menunjukkan kekhasan yang dimiliki oleh wilayah Karangbangun khususnya lingkungan Karangbangun IV yang baru saja dimekarkan dari lingkungan Karangbangun II, Juni 2006 silam. Kekhasan yang dimiliki oleh lingkungan Karangbangun IV terletak pada banyaknya guru yang terlibat dalam pewartaan iman katolik. Dan hal kedua adalah bagaimana masyarakat Karangbangun IV yang notabene bukan hanya orang katolik ternyata mampun menunjukkan toleransi beragama yang cukup baik. Hal ini bisa terlihat dari kebiasaan yang hingga kini masih mereka pegang dan mereka laksanakan. Misalnya saja dalam hal sembahyangan lingkungan, yang diundang bukan hanya mereka yang katolik namun umat yang lainpun dipersilakan hadir dan berdoa menurut keyakinannya masing-masing. Begitu juga halnya jika ada misa lingkungan atau misa dengan ujud tertentu, umat yang beragama lainpun datang dan secara bersama-sama memanjatkan doa.
 Begitulah dinamika hidup umat katolik yang hadir dalam kepluralitasan. Namun, syukur kepada Allah bahwa dengan hidup bermasyarakat seperti ini mereka senantiasa diingatkan akan pentingnya membangun kerukunan hidup bermasyarakat. Peran umat sebagai guru pertama-tama memang dilakukan dalam lingkup pendidikan namun tak dapat dipungkiri bahwa keberadaan mereka di tengah-tengah masyarakat ditantang untuk menjadi garam dan terang dunia. Oleh karenanya, nilai-nilai kristiani yang ditanamkan baik di lingkup pendidikan maupun masyarakat umum mesti diresapi dan dihayati terlebih dahulu dalam lingkup keluarga.
Kami melihat bahwa perkembangan iman umat Karangbangun IV memang menggembirakan dan paling tidak dalam hal kuantitas, mengalami peningkatan. Tidak berhenti di situ, kualitas hidup beriman pun tetap diupayakan untuk dipupuk dan dikembangkan agar semakin dapat berbuah limpah. Dalam masyarakat desa, profesi sebagai guru dengan sendirinya mengundang perhatian dan penghargaan khusus juga termasuk sebuah kepercayaan. Hal ini dikarenakan, profesi sebagai guru itu dihormati dan dianggap “lebih” dari rakyat biasa, mereka mempunyai bidang dan keahlian khusus dalam mencerdaskan kehidupan bermasyarakat.
Mereka yang menjadi guru dipadang sebagai orang yang ringan tangan, berwibawa. Dan masyarakat sudah tahu ini semua dan mereka sangat menghargainya. Secara umum, jika ada acara tertentu misalnya pernikahan atau khitanan, guru di tempatkan di posisi yang penting misalnya menjadi among tamu. Dalam hidup bermasyarakatpun, guru menjadi semacam “jujugan” (tempat untuk mencari masukan dan pendapat), guru itu bisa diandalkan karena lebih tahu, dianggap lebih bisa dan lebih mampu untuk menggerakkan masyarakat serta bisa dijadikan panutan. Dari 28 KK yang ada di lingkungan Karangbangun IV, ada 9 orang yang menjadi guru yaitu Mbah Karmanto, Ibu Suwarti, Bpk. Djuwarno, Bpk. Saptono dan Ibu Mulyati, Bpk. Kasino dan Ibu Suyati, Bpk Wijayanto dan Ibu Rhesa.
Mbah Karmanto merupakan cikal bakal umat katolik di lingkungan Karangbangun IV ini. Sekitar tahun 1973, banyak anak-anak mulai menjadi katolik. Mbah Karmanto memang mengajar terbatas pada mereka lulusan SD dan SLTP yang belum dibaptis hingga banyak juga diantara mereka yang dibaptis. Sebagai Guru, Mbah Karmanto memiliki ritmenya sendiri. Pagi hari, mengajar di SD negeri dan sore harinya diadakan pendalaman iman. Mbah Karmanto juga menjadi katekis di rumahnya sendiri hingga akhirnya banyak yang dibaptis. Dalam kegiatannya sebagai guru, Mbah Karmanato bekerja sama dengan Pak Kasino yang berprofesi sebagai guru agama SD. Pak Djuwarno pun diajaknya dalam pendalaman iman anak-anak. Biasanya, Pak Djuwarno mendapat bagian dalam hal menyanyi atau lagu-lagu dan Mbah Karmanto bertugas di bagian mendongeng.     
Pada tahun 1967, SD Kanisius didirikan dan sejak pendirian sekolah tersebut anak-anak mulai mengenal pelajaran katolik. Keberadaan SD ini mendorong anak-anak dan orang tua mereka juga menjadi katolik. Selain di SD Kanisius Karangbangun ada juga TPA (tempat pelajaran agama) bagi anak-anak SD dan SMP. Bpk. Kasino, sebagai guru agama katolik di SD negeri menghimpun anak-anak tadi dan mengajar agama. Menurut Bpk. Kasino, kehadiran Br. Canisius dan Bpk. Suparno menjadi dorongan kuat bagi banyak umat yang hendak mengikuti Kristus dan menjadi katolik. Pada periode ini, banyak umat yang minta dibaptis, sampai-sampai dikatakan bahwa mereka mengadakan kristenisasi. Banyak orang katolik yang baru justru datang dari kalangan orang dewasa dan tua dengan  berbagai sebab dan motivasi. Antara lain: “orang katolik itu kalau mati akan didandani atau dirias sehingga tidak menakutkan, seolah-olah akan pergi kondangan saja”. Selain itu, disebabkan karena bebarapa anggota sudah menjadi katolik maka tertarik juga menjadi katolik.
Sebagai guru SD, Pak Kasino pun membawa nilai-nilai kristiani yakni nilai-nilai cinta kasih, memperhatikan kepentingan orang lain, membangun kebersamaan hidup, dan ringan tangan. Berdasarkan pengalamannya, seringkali dia menjadi jujugan bagi orang-orang disekitarnya. Banyak pula kepercayaan yang diberikan kepadanya dalam bidang kemasyarakatan baik sebagai ketua RT maupun menjadi pengurus PKK di wilayahnya. Baginya hal ini menjadi kegembiraan tersendiri. Akan tetapi, ada hal lain juga yang menyedihkan yakni ketika teringat akan tidak sedikitnya kaum muda-mudi yang “lari” dari gereja. Kadang-kadang harus mendapat malu karena diminta menjadi saksi perkawinan mereka yang tidak beres itu.
Tokoh guru yang lain adalah Pak Djuwarno. Dalam lingkungan, beliau berperan sebagai ketua BAKAT (bapak-bapak katolik) atau BABU (bapak-ibu katolik). Beliau juga pernah menjadi kepala sekolah di SD N Lemahbang. Dalam masyarakat luas, Pak Djuwarno berperan sebagai bendahara RT 01 dan RT 03, menjadi sekretaris kelompok tani “RAS” (rukun agawe sentosa) dan menjadi bendahara PWRI (persatuan wredatama Republik Indonesia). Menurutnya, yang tampil dalam kehidupan bermasyarakat pada umumnya adalah mereka yang berprofesi sebagai guru. Dan di wilayah Karangbangun, Pak Djuwarno berperan sebagai seksi perwartaan.
Lain lagi dengan Pak Saptono. Beliau pernah mengajar di SD N Jatirejo selama 10 tahun. Setiap hari Jumat, Pak Sapto nyambi  mengajar agama katolik. Karena agama Islam di sana berkembang cukup kuat maka hal ini pun menjadi sebuah tantangan  baginya. Pak Sapto juga pernah menjadi guru di Lemahbang selama 26 tahun, dan selama itu pula beliau merangkap sebagai guru agama katolik. Dalam kegiatan di lingkungan, kerapkali Pak Sapto ambil bagian dalam pendanaan. Kegiatan-kegiatan baik lingkungan maupun parokial pun kerap dilakoninya. Misalnya : koor, renungan APP, renungan adven, doa lingkungan dan lain sebagainya.  Seringkali rumahnya ditempati untuk pertemuan kegiatan-kegiatan tersebut.
Baginya, seorang guru semestinya bisa menjadi contoh, teladan, dapat ditiru, menjadi jujugan (memberi masukan) dan syukur-syukur bisa membantu memberikan jalan keluar misalnya dalam hal keuangan dan masalah-masalah tertentu. Pertemuan misdinar untuk wilayahpun seringkali diadakan di kediaman Pak Saptono. Selain itu, rumah Pak Saptono sering menjadi tempat menginap atau live in bagi frater, suster, dan mereka yang ingin mengenal lingkungan Karangbangun baik dalam budaya maupun masyarakatnya.
Dalam kehidupan bermasyarakat, seringkali pak Saptono bersama Ibu Mulyati “merayu-rayu” orang yang tidak pernah ke gereja atau yang imannya tengah lesu. Selain itu, memberi pengertian, pemahaman mengenai kolekte, melerai-menasihati pasangan yang akan bercerai, dan juga menjadi orang tua asuh bagi mereka yang orangtuanya kurang mampu namun punya keinginan untuk mengenyam pendidikan.  Dan buahnya, sekarang sudah mulai dirasakan yakni sudah menyekolahkan 5 orang anak.

Remah-remah dalam langkah
Ungkapan syukur dan luapan kebahagiaan selayaknya dikumandangkan ditengah-tengah umat Karangbangun IV pada saat ini. Melihat segala perkembangan, hal-hal positif dan kemajuan yang ada nampaknya semakin membulatkan tekad kita untuk senantiasa mengekspresikan suasana sukacita itu. Hal paling utama dan mendesak untuk selalu diingat adalah berkat dan pendampingan Allah selama inilah yang semestinya disyukuri dan diterima dengan penuh hangat. Tanpa pendampingan, berkat dan peran serta Allah yang bertindak, maka mustahillah akan mendapatkan karunia  yang besar dan yang melimpah ini. Memang, kita tidak bisa menutup mata akan tidak sedikitnya keprihatinan yang kita alami sebagai umat Allah yang sedang berziarah yang ternyata malah mengalami begitu banyak tantangan yang melemahkan kita. Kita mesti bangkit untuk bergerak dan untuk semakin menampakkan wajah Kristus yang tertebus bagi semakin banyak orang.
Perjalanan panjang umat katolik Paroki Jumapolo dan khususnya wilayah Karangbangun, dan teristimewa Karangbangun IV memiliki kekhasannya tersendiri. Dalam hal ini, ternyata ditemukan bahwa penggerak utama dalam pewartaan dan perluasan Kerajaan Allah diupayakan oleh para guru baik kapasitasnya sebagai tenaga pendidik dan pelayan masyarakat maupun dalam tataran sebagai bagian dari anggota masyarakat tertentu. Tentu hal ini sangat menggembirakan dan mengagumkan karena di tengah-tengah tantangan arus zaman dan desakan untuk hidup demi diri sendiri semakin menguat justru mendorong mereka yang berprofesi sebagi guru untuk semakin memberikan diri mereka bagi semakin banyaknya orang untuk dekat dan terlibat dalam persekutuan sebagai umat Allah.
Menarik sekali bahwa dengan cara mereka masing-masing yang khas dan tangguh, mereka pertama-tama mampu membawa nilai-nilai kristiani bagi kehidupan dan kesejahteraan bersama. Maka dari itu, tidak mengherankan bahwa ketika penyusun datang, tinggal, hidup, melihat dan merasakan langsung dinamika umat di Karangbangun IV  kami sungguh dapat “melihat” buah karya Allah melalui tangan dan kerja keras mereka selama ini. Suasana persaudaraan, kegembiaraan, sukacita dan semangat untuk membangun persekutuan hidup beriman yang semakin intim, mendalam, hangat dan padat nampaknya terus diupayakan dan dikembangkan ditengah situasi zaman yang semakin semrawut ini. Mereka yang ada di depan, para guru, berusaha menjadikan diri pantas dan layak untuk diteladani, ditiru, dijadikan tempat untuk berteduh, tempat jujugan bagi mereka yang membutuhkan kelegaan atas masalah-masalah kehidupan.
Hal yang sama pun mereka terapkan dalam tugas mereka sehari-hari sebagai tenaga pendidik. Tugas yang mereka terima bukanlah tugas biasa dan sepele. Mendidik manusia agar semakin manusiawi dan nantinya dapat memanusiawikan orang lain nampaknya menjadi hal mendesak untuk ditanamkan dalam diri naradidik. Kasih persaudaraan, pengampunan, kerendahhatian, dan nilai-nilai kristiani yang lain menjadi hal penting untuk terus diupayakan dan diusahakan agar mereka mempunyai kekhasan sebagai manusia tanpa memaksa mereka untuk menjadi katolik. Akan tetapi, justru karena kesaksian hidup dan keutamaan-keutamaan yang sudah ada pada merekalah, orang-orang yang ada di sekitar mereka merasa disegarkan karena dekat dengan Sang Sumber yang nyatanya hadir dalam pribadi mereka.
Kini pelangi itu menjadi penuntun langkah yang menyiratkan keindahan tersendiri bagi umat Katolik di daerah Karangbangun IV ini. Benih iman Katolik yang tumbuh di dalam masyarakat Karangbangun IV ini tidak lepas dari peran para guru yang tak kenal lelah memberikan pelajaran agama Katolik bagi kaum muda pada masa itu. Adanya arus perubahan zaman yang nyata bergejolak dan tantangan yang semakin menekan bahu tidak membuat semangat kehidupan iman menjadi kendor. Memang yang menjadi pertanyaan adalah siapa penerus generasi-generasi pendahulu yang sudah termakan usia mengingat generasi muda daerah ini sebagian besar meninggalkan wilayah Karangbangun IV ini? Jika memang seperti itu adanya, biarlah sinar-sinar pelangi itu ditangkap oleh orang yang berminat untuk menjadi pelangi itu sendiri.

Sang pelangi perlahan mulai tampak dari kejauhan.
Kilaunya memukau laksana batu permata yang memancarkan keindahannya pada setiap sudut sisinya.
Cahayanya memberikan kesejukan pada setiap mata yang memandangnya.
Kesejukan yang takkan pernah sirna meskipun rintik hujan menerpa.


Kelompok Sejarah Gereja Indonesia, Lingkungan St. Mikhael Karangbangun IV :
Invarien Alpha Andriyanto, Antonius (FT 3222)
Nunung Triatmoko, Fidelis (FT 3255)
Indra Sepriandika, Hieronymus (FT 3241)











Kata-kata Mutiara dari buku "Langka & Nyata"

One step enough for me

Lead, kindly Light amid th'encircling gloom
Lead Thou me on
The night is dark and I am far from home
Lead Thou me on
Lead Thou my feet and I do not want tosee
the distance scene one step enough for me.

Lord, grant me the serenity to accept things I can not change,
the courage to change things I can, and the wisdom to see the difference.


Kidung Mijil dalam Serat Wulangreh

Poma kaki pada dipun eling, ing pitutur ingong, (Anakku, ingatlah apa yang menjadi pesanku,)
sira uga satriya arane, (engkau adalah satria,)
kudu anteng jetmika ing budi, (harus tenang, hening dalam budi,)
ruruh lawan wasis samudayanipun. (sabar-tekun dan pintar dalam segalanya.)


Hati ini sudah berisi
entah siapa yang memberi
di dalamnya terkenang aneka angan-angan
yang sudah tergulung
dalam lingkaran sejarah panjang
namun bila digelar
masih tertera gambar yang indah
yang sulit dihapus!

Sebetulnya semua berupa beban
dan hanya bila hati sungguh merdeka
beban itu tiada.

Kapan orang bisa memanfaatkan kegagalan
untuk membangun kemungkinan yang bisa dirasakan
sebagai suatu pembaruan
dan bukan sekedar pengisian?

Memang setiap makhluk hanya sejenak berperan
dalam panggung kehidupan
boleh menampilkan seluruh hakikat
pelan-pelan dan hemat
atau secara loyal melimpah tanpa rasa gelisah
akhirnya sang kala akan menguji
makna dan hakikat kehidupan
yang dimainkan dalam pentas tanpa batas.

Perjalanan adalah bagian perjuangan
dengan segala yang ada padanya.

(diambil dari buku Langka & Nyata --> St. Darmawijaya)

Wawancara Mata Kuliah "Iman-Wahyu"

Siapa Allah di Mata Mereka
Sebuah Penelitian Mengenai Kehidupan Beriman Karyawan Seminari Tinggi St. Paulus
(Oleh : Andri, dkk)

1.    Pengantar
Dalam pemahaman iman kristiani, tidak dapat dikatakan tidak bahwa Yesus merupakan kepenuhan pewahyuan. Hal ini jelas tertulis dalam dokumen konsili vatikan II, DV art 4[1]. Seluruh umat katolik pada umumnya, dan jemaat Keuskupan Agung Semarang pada khususnya meyakini hal itu. Iman sebagai tanggapan atas pewahyuan Allah yang memuncak dalam diri Yesus Kristus ini terus berkembang dari waktu ke waktu, sejak zaman para rasul hingga sekarang. Pada abad-abad awal Gereja, militansi iman dapat dilihat dan tampak dalam semangat kemartiran orang-orang kudus. Berangkat dari pemahaman ini, kemudian pertanyaan yang muncul adalah bagaimana militansi iman dihidupi pada zaman sekarang ini. Menghidupi semangat kemartiran tentu bukan lagi dengan berjuang membela iman dengan berkorban nyawa. Semangat kemartiran sebagai wujud militansi dapat ditunjukkan dengan menghidupi dan mewujudkan iman dalam tindakan yang sesuai dengan ajaran dan teladan Yesus Kristus dalam terang Roh Kudus sesuai dengan ajaran dan tradisi Gereja Universal.
 Berkaitan dengan militansi iman zaman sekarang, secara lebih khusus kelompok akan melihat dinamika iman para karyawan Seminari Tinggi sebagai bagian dari jemaat katolik KAS dan lebih luas sebagai bagian dari jemaat katolik universal. Kami mewawancarai 10 orang karyawan katolik dari 16 orang karyawan di Seminari Tinggi St. Paulus secara acak. Para responden tersebut adalah Yustinus Basuki, Ignatius Jarwo Sudarmo, Petrus Lismiyanto, Fransiskus Xaverius Sigit Nugroho, Robertus Suwandi, Sulvanus Suwardi, Antonius Winarto, Bernardus Yukairi, Martinus Jumiyanto, dan Bambang Suhartoyo. Dalam menganalisis pernyataan-pernyataan mereka tentang iman, kami membuat pengelompokkan pernyataan berdasar kemiripan pernyataan antar responden.
Maksud observasi ini adalah untuk menggali paham iman yang mereka hidupi, pengalaman iman yang mereka miliki dan juga sekaligus untuk melihat bagaimana pengungkapan dan perwujudan iman mereka ini. Apakah dinamika iman mereka ini mampu menunjukkan sebuah militansi iman katolik pada zaman ini? Tentu, untuk melihat militansi ini, kami perlu membandingkan hasil observasi kami ini dengan tradisi dan ajaran Gereja sendiri mengenai iman. Dari pembandingan ini, diharapkan akan tampak militansi para karyawan seminari ini dalam menghidupi iman mereka dan bila perlu maka dari penelitian ini akan muncul sebuah sumbangan berupa katekese untuk para karyawan Seminari Tinggi.
           
2.    See
2.1    Paham iman
          Iman merupakan pengalaman perjumpaan yang menantang orang untuk menyerahkan hidup seluruhnya (ultimate concern) kepada Allah yang memanggil kita untuk berbagi hidup. Allah sungguh telah mewahyukan diri-Nya kepada manusia dan dengan iman, manusia menanggapi pewahyuan itu. Iman karyawan Seminari Tinggi menunjuk pada siapa Pribadi Allah sendiri di mata mereka dan dalam kehidupan mereka. Ada beberapa pemahaman mengenai siapa Allah menurut mereka, misalnya :
-       Menurut Bpk. Jarwo dan Bpk. Bambang, Allah adalah Pegangan Hidup mereka. Banyaknya tantangan hidup yang menghimpit dan terbatasnya kemampuan yang mereka miliki membuahkan pengalaman ambang batas pada diri mereka. Pada kondisi yang sedemikian, mereka pun bingung harus berlari, berpegang pada siapa. Berpegang pada pribadi manusia yang juga terbatas seperti mereka kiranya tidaklah mungkin. Mereka butuh pribadi yang mengatasi mereka sebagai manusia. Kebutuhan sekaligus kerinduan itulah yang menghantar mereka pada pribadi Allah yang mereka percaya mampu menjawab segala permasalahan hidup mereka. Pertemuan antara Allah dan manusia tentunya hanya dapat terjadi di dalam doa yang berdaya dan memberi jawab bagi mereka.   
-       Menurut Mas Sigit, Pak Winarto dan Bapak Yukairi, iman adalah kepercayaan kepada Tuhan Yesus. Tuhan Yesus menjadi pengayom, memberi rahmat, menunjukkan jalan yang benar dan tepat kepada umatnya. Dengan iman, seseorang berarti memiliki penguat dan pegangan hidup. Iman membuat hidup terarah dan memiliki tujuan yang jelas. Umat bisa memohon kepada Tuhan sekaligus bersyukur. Dengan beriman secara teguh, terkabul atau belumnya sebuah doa permohonan dimaknai sebagai kehendak Tuhan untuk memberi yang terbaik bagi umat-Nya tepat pada waktunya.
-       Iman menurut Pak Wandi adalah merupakan kepercayaan kepada Tuhan sebagai penolong, pemberi hidup dan yang mengatur hidup.
Pak Wandi dulu waktu kecil sudah percaya tetapi belum mantap. Setelah SMA (kurang lebih setelah 2 tahun), ia baptis dan saat itu baru mantap. Waktu imannya belum mantap, Pak Wandi tetap ke gereja tetapi tidak menerima komuni. Iman pak Wandi timbul dari pengaruh komunitas gereja (yang bagus, guyub: atas semua yang mereka lakukan). Selain itu, iman tersebut dikuatkan dengan membaca renungan (Yesus itu seorang Penyelamat).
-       Iman menurut mas Lismi adalah percaya dan yakin pada Allah, mengikuti dan menjalankan ajaran dan teladan Yesus. Mas Lismi mulai mengimani iman Katolik sejak masih kecil. Pengenalan iman tersebut berawal dari keluarga, khususnya oleh ayahnya (alm). Peran orang tua sangat berpengaruh baginya. Ia harus mengikuti apa yang dimiliki oleh orang tuanya. Selain itu, perkembangan iman juga dipengaruhi saat Mas Lismi menjadi misdinar.
-       Iman menurut Mas Basuki adalah kepercayaan dan keberanian untuk berpasrah sepenuhnya pada penyelenggaraan Allah seperti sabda Tuhan yang senantiasa menjanjikan keselamatan. Iman akan Yesus Kristus memunculkan perasaan damai dan bahagia karena memiliki pegangan hidup. Hidup seperti sudah memiliki asuransi sehingga keselamatan hidup kelak sudah di jamin oleh Tuhan. Mas Basuki mengimani iman katolik sejak kecil karena tumbuh dan berkembang dalam keluarga katolik.
-       Iman menurut Pak Wardi adalah sebuah pelayanan yang tulus kepada sesama seperti yang Tuhan Yesus ajarkan kepada manusia. Ia rela memberikan diri Nya untuk menyelamatkan manusia.  Pemahaman tersebutlah yang mempengaruhi seluruh hidup beliau. Semenjak beliau masuk SMPA (Sekolah Menengah Pekerjaan Sosial) seluruh hidupnya ini rasanya juga hanya demi ornag lain. Hal ini nyata dalam pengalaman saya menjadi bagian dalam kerja FHP yang diprakarsai oleh suster-suster Penyelenggaraan Ilahi di Temanggung. FHP ini bergerak dibidang sosial khususnya pemberian dana untuk orang-orang yang tidak mampu dan mau berusaha untuk berkembang. Di sana saya banyak melayani orang-orang Islam meskipun pernah mendapatkan tuduhan kristenisasi saya tetap menjalankan pekerjaan saya itu.

2.2    Pengalaman iman
Pengalaman iman merupakan opsi fundamental untuk menjawab sapaan Allah yang menyapa manusia untuk berbagi hidup, sebagai perjuangan sepanjang hidup. Pengalaman iman ini memiliki ciri otonom (bebas dari dan untuk), menyelamatkan (mendukung penghargaan untuk manusia), suci (transformatif, tidak konformis), mutlak (berupa permohonan Sang Hidup untuk menghargai hidup), dan kristiani (mengikuti Kristus lebih sungguh).
Dalam wawancara, terdapat pengalaman-pengalaman khusus yang bagi responden dirasakan sangat menguatkan. Bukan sekedar pengalaman biasa, rupa-rupanya pengalaman ini telah dimaknai sebagai pengalaman perjumpaan akan Allah dan menjadi sebuah pengalaman  iman yang meneguhkan, yaitu:
-          Bpk. Jarwo dan Bpk. Bambang adalah kepala keluarga. Sebagai kepala keluarga, ekonomi adalah tantangan utama yang mereka hadapi. Bpk. Jarwo dengan keenam anaknya dan Bpk. Bambang dengan kedua anaknya mempunyai tantangan tersendiri berhadapan dengan perekonomian keluarga. Usaha membanting tulang yang mereka lakukan serasa tak mampu mencukupi segala kebutuhan ekonominya itu. Kebetulan-kebetulan yang di luar logika manusia namun tepat saatnya sering mereka alami dan mereka sebut sebagai campur tangan Allah. Bahkan Bpk. Jarwo sendiri mensyukuri penyelenggaraan Allah yang meragati (membiayai) keenam anaknya hingga semua berhasil. Bagi keduanya, campur tangan Allah terlihat nyata dari bantuan sesamanya.
-          Mas Sigit dan Bapak Yukairi memiliki pengalaman iman berkaitan dengan permohonan kepada Tuhan. Pada saat mereka mengalami sakit atau memiliki masalah yang sulit diselesaikan, mereka terbiasa untuk berdoa kepada Tuhan. Doa itu berisi permohonan agar disembuhkan atau dibebaskan dari masalah. Seringkali doa itu dikabulkan dengan cara yang ajaib, yang tidak diduga. Pengalaman pengabulan doa ini membawa mereka pada rasa syukur dan membuat mereka semakin beriman kepada Tuhan. 
-          Awalnya, Mas Win merupakan salah satu wirausaha kerajinan bambu yang cukup sukses dengan penghasilan kurang lebih satu juta per bulan. Namun ia merasa merasa ada yang kurang “nyes” dalam pekerjaannya ini. Ia ingin mencoba mencari pekerjaan lain yang sekiranya bisa membuatnya lebih bahagia. Setelah menjalani puasa, ziarah, dan laku tapa, pada tahun 2002, ia berhasil mendapatkan pekerjaan sebagai karyawan di Seminari Tinggi St. Paulus Yogyakarta. Meskipun pada awalnya dia hanya mendapat gaji yang relatif kecil yaitu delapan ribu perhari atau 240.000 per bulan. Pekerjaan yang monoton di bagian refter (ruang makan), tetap membuat mas Win tekun pada pekerjaannya. Ia bersyukur bahwa ia memutuskan untuk bekerja di ST. Ia merasa bahagia, bahkan sekarang ia bisa memberi uang orangtua. Sudah ada beberapa tawaran pekerjaan lain yang kiranya lebih prospek dalam hal materi. Tetapi rupanya hati tetap membuat dia memilih bekerja di ST. Ia bersyukur pada Tuhan karenanya.
-          Pengalaman iman yang dialami oleh Mas Lismi didasari pandangannya bahwa setiap orang pasti pernah mengalami sesuatu hal atau kejadian yang benar-benar menggugah, bisa membahagiakan tetapi juga bisa menyedihkan. Pengalaman imannya muncul dan berkembang setelah ayah Mas Lismi meninggal dunia. Pengalaman ditinggal oleh ayahnya merupakan pengalaman yanng sangat membutanya terpukul. Dia merasa tidak ada lagi yang menjamin hidupnya. Tetapi, dalam perjalanan waktu,s etelah ditinggal ayahnya, Mas Lismi menjadi orang yang berpikiran dewasa, menjadi orang yang baik, dengan meniru keteladanan ayahya, dan mencapai kedewasaan pribadi. Mas Lismi menyadari bahwa pengalaman iman itulah merupakan salah satu jalan Tuhan untuk merubah hidup Mas Lismi, baik melalui cara berpikirnya maupun melalui pendewasaan diri.
-          Pak Wandi mempunyai pengalaman iman secara tidak langsung yang nampak dalam hidup sehari-hari, antara lain: pengalaman yang menghantarkan bahwa hidup itu merupakan suatu anugerah, melakukan sesuatu dengan lancar-lancar saja, tidak ada pengalaman yang begitu menyakitkan yang berhubungan dengan kepercayaan, pengalaman ditolong Tuhan ketika sedang menghadapi godaan. Pak Wandi pernah menjalani operasi usus buntu dan sembuh karena dia sungguh-sungguh pasrah kepada Tuhan. Pengalaman iman itu menumbuhkan kepercayaan bahwa Tuhan itu ada. Selain itu, pengalaman akan Tuhan juga dirasakan Pak Wandi ketika ia masih bisa bangun pagi. Tuhan, bagi Pak Wandi, merupakan pengasih dan penolong.
-          Mas Basuki pernah memiliki pengalaman yang menakjubkan. Pada tahun 2001, ia mengalami kecelakaan pada saat hendak bertugas jaga malam di seminari. Di tengah perjalanan, ia ditabrak oleh mobil dari arah yang berlawanan. Setelah kejadian itu, ia merasakan badannya melayang di angkasa dan ia melihat keramaian di bawahnya. Ia melihat tubuhnya dikerumuni banyak orang dan dibawa ke rumah sakit. Ia menjadi penonton atas peristiwa yang terjadi pada tubuhnya. Kemudiaan, ia tidak ingat lagi apa yang terjadi hingga ia tersadar dan tetap hidup. Bagi Mas Basuki, pengalaman rohani yang benar-benar menimbulkan banyak pertanyaan yang tidak pernah bisa dijawabnya, justru semakin memperteguh imannya. Mungkin dalam kecelakaan Mas Basuki telah meninggal, karena jiwanya telah terpisah dari tubuhnya. Namun rupanya Tuhan masih memberikan kesempatan untuk hidup dan berbenah diri di dunia ini. Allah yang menjamin keselamatan jiwa-jiwa. Yang lebih penting, peristiwa ini tidak hanya berhenti di sini saja, tetapi juga menggerakkan hati Mas Basuki untuk semakin mendekatkan diri kepada Tuhan.

2.3    Ungkapan Iman
Ungkapan iman berarti tindakan/perbuatan keagamaan yang membuat iman kentara. Dalam tindakan ini, arah hubungan manusia dengan Allah biasanya terungkap dengan lebih eksplisit.
-          Tuhan yang menjadi pegangan hidup Bpk. Jarwo dan Bpk. Bambang membuat keduanya selalu membawa dalam doa setiap permasalah hidup yang mereka hadapi. Bpk. Jarwo sendiri selalu singgah di hadirat Allah setiap jam satu malam di sebuah kapel Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan. Ketika tantangan hidup makin berat, intentitas doanya pun makin bertambah. Tak jarang, beliaupun sering berdoa di depan patung Pieta di pemakaman imam projo Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan.
Bpk. Bambang juga sering menambah intensitas doanya dikala tantangan hidup semakin berat. Devosi kepada Maria berupa doa rosario sangat beliau gemari.
-          Pengungkapan iman Mas Sigit dan Bapak Yukairi tampak dalam kebiasaan mereka berdoa. Pengalaman doa ini mereka sadari sebagai pengalaman penyerahan diri, terutama saat mengalami sakit dan menghadapi masalah. Intensitas doa mereka bertambah seiring dengan kesulitan yang dihadapi. Ketika tantangan hidup makin berat, intentitas doanya pun makin bertambah. Namun seringkali tuntutan pekerjaan dan kesibukan mengurus rumah tangga membuat mereka harus meninggalkan rutinitas doa. Meskipun demikian, mereka tetap berusaha mengikuti ibadah mingguan, Natal, dan Paskah.
-          Pengungkapan iman Pak Winarto, ia lakukan dengan laku asketis ketika ia mempunyai sebuah niat ataupun ketika ia hendak bersyukur kepada Tuhan. Hanya saja kerap ia merasa kecil hati, karena kebiasaan doa kurang ia lakukan dengan tekun. Bahkan ia mengatakan bahwa mengikuti perayaan ekaristi mingguan saja masih dapat dihitung. Tetapi ia sendiri mengakui adanya kerinduan untuk memiliki kebiasaan doa yang tekun, apa lagi mengikuti perayaan ekaristi.
-          Ungkapan iman Mas Lismi salah satunya adalah melalui doa. Mas Lismi sering dan senang melakukan doa pribadi. Devosi kepada Bunda Maria dengan doa Rosario dilakukannya setiap malam. Selain doa pribadi, ternyata di dalam keluarga Mas Lismi juga ada tradisi ‘nyekar’ pada “Minggu Wage”. Dalam doa-doanya, Mas Lismi memohonkan ujub untuk kesehatan dan kedamaian bagi orang tua, keluarga, serta saudara terdekat. Dampak dari doa adalah Mas Lismi menjadi lebih tenang dan nyaman dalam melakukan segala kegiatan pada hari itu. Misalnya: setiap pagi, Mas Lismi selalu berdoa, meskipun singkat, untuk keselamatan supaya dalam berkendaraan diberi perlindungan.
-          Pak Wandi dan Mas Jumiyanto mengungkapkan imannya melalui doa. Setiap bangun pagi, mereka selalu menyempatkan diri untuk berdoa. Setelah sampai di tempat kerja, mereka juga berdoa bagi diri sendiri dan keluarga supaya segala pekerjaan yang akan dilakukan pada hari ini lancar, bisa melayani secara maksimal, serta diberi keselamatan ketika pulang/kembali ke rumah. Dalam doanya, Pak Wandi dan Mas Jumiyanto juga mengucapkan syukur kepada Bunda Maria sebagai penolong dan pelindung. Pengaruh dari doa yang dilakukan oleh keduanya adalah adanya ketenangan dan keamanan ketika melakukan kegiatan.

2.4    Perwujudan Iman
Perwujudan iman adalah perbuatan moral yang didalamnya relasi manusia dengan Allah biasanya dihayati secara lebih sungguh. Dengan perbuatan moral, manusia bertindak dan bertanggung jawab demi kepentingan bersama.
-          Allah sebagai pegangan hidup bagi Bapak Jarwo dan Bapak Bambang dihidupi dengan sikap pasrah sumarah marang Karsanipun Gusti. Sikap sederhana sungguh kentara dari pribadi mereka berdua. Sikap yang semacam itu, tanpa disadari, mewarnai kehidupannya bersama orang lain.
-          Mas Sigit dan Bapak Yukairi mencoba menghayati iman mereka dalam sikap hidup sehari-hari melalui tindakan membantu orang lain tanpa membeda-bedakan agama dan latar belakang. Menurut mereka, kesediaan untuk berbagi dan membantu merupakan salah satu keutamaan umat Katolik. Keutamaan ini bersumber dari Yesus, yang mau berbagi dan membantu siapa saja yang membutuhkan. Bantuan yang mereka berikan tidaklah selalu merupakan hal-hal yang besar, misalnya mengikuti kerja bakti lingkungan, membantu keperluan hajatan, dan melayat.
-          Dalam mewujudkan iman, mas Win meyakini bahwa berdoa bukan melulu di Gereja dengan rumusan doa. Baginya, di mana dan kapan saja ia melakukan kegiatan, itu semua adalah dalam rangka berdoa. Selain itu, imannya ini ia wujudkan dalam hidup sehari-hari dengan berusaha hidup baik dan mengutamakan kasih kepada sesama.
-          Mas Lismi merasakan adanya pengaruh iman terhadap tindakan. Hal ini nampak misalnya ketika mas Lismi disuruh untuk bekerja di rumah muncul perasaan ‘dongkol’, namun berkat imannya, ia tetap melakukannya. Ia menyadari bahwa orang itu tidak ada yang sempurna, namun manusia punya perasaan dan pengendalian diri. Walaupun diejek, ia bisa mengendalikan diri. Iman itu juga diwujudkan ketika Mas Lismi membantu atau menolong orang lain sebisanya/semampunya.
-          Iman yang diwujudkan oleh Pak Wandi dalam tindakan sehari-hari, misalnya terhadap 10 perintah Allah; Pak Wandi merasa diingatkan untuk selalu mempunyai pertimbangan jika ada perbuatan yang kurang benar (tidak sesuai dengan Roh Kudus atau Yesus Kristus), bersabar dalam segala sesuatu, pemahaman bahwa “jika bukan miliknya-pasti tidak mungkin akan diambil” atau dalam arti ‘tidak mencuri’, menolong orang lain dengan ikhlas (membantu tetangga yang membutuhkan, mengingatkan sesama pengendara dalam berlalu lintas).

3.    Judge
3.1    Acuan teologi (Tradisi dan Magisterium)[2]
Iman berasal dari bahasa Arab amana, yang berarti percaya (pada Allah). Dalam bahasa Yunani, istilah ini dijelaskan dengan kata pistis, yang berarti memberikan keprcayaan kepda seseorang. Untuk memahami iman, perlu diketahui beberapa ciri mendasar, yaitu:
1.      Seseorang menerima tawaran persahabatan Allah dan masuk dalam kesatuan dengan pribadi Yang Ilahi karena tindakan imannya.
2.      Iman lebih dari sekadar penerimaan, kesetujuan akan sejumlah kebenaran tentang Allah.
3.      Seseorang tidak dapat percaya kepada Allah tanpa mempercayai kebenaran yang diwahyukan oleh Allah baik tentang Diri-Nya dan rencana keselamatan-Nya bagi manusia.
4.      Kesatuan seseorang dengan pribadi Yang Ilahi ini melibatkan juga orang-orang beriman lainnya, sehingga bersifat eklesial (kebersamaan) dan tidak individualistik.
5.      Iman adalah opsi fundamental dan pribadi, yang bebas dan sadar, yang menuntut kesetiaan kepada Allah.
Dalam tradisi umat Allah dan Gereja Perdana, ada beberapa hal yang berkaitan dengan iman. Beriman dalam kisah panggilan Abraham berarti taat kepada (Sabda) perintah Allah. Dengan imannya, orang berserah diri dan menjadikan Sabda Allah sebagai andalan hidup. Selain itu, dengan beriman, kesetiaan orang diuji (Kej 18:1-15) dan kepercayaan diuji (Kej 22:1-19). Dalam kisah pilihan Daud, beriman berarti setia kepada (Sabda) pilihan-Perjanjian Allah. Orang yang beriman dengan setia menghidupi pilihan Allah sehingga mampu berjuang tanpa ragu sebagai alat dalam tangan kuasa Allah. Dalam kisah keberanian para Nabi, beriman berarti bersandar sepenuhnya pada (Sabda) pemenuhan janji Allah. Dengan beriman orang memperoleh jaminan keselamatan: jika kamu beriman, kamu akan aman. Iman inilah yang menumbuhkan kemantapan hidup berhadapan dengan resiko dan peluang.
Dalam tulisan Bapa-Bapa Gereja, iman Kristiani secara lebih erat dikaitkan dengan wahyu Alkitabiah. Menurut Tertullianus (160-220), iman berarti mengikuti dan menyerahkan diri kepada Kristus. Klemens dari Alexandria (150-216) berpendapat Allah membimbing setiap pribadi dan membina seluruh sejarah pada iman. Sedangkan menurut Agustinus (354-430), iman adalah tindakan dinamik dan dialektik yaitu pengenalan secara mendalam dan terus-menerus dan tindakan mengimani sekaligus memahami (credo ut intellegamàfides querens intellectum).
 Konsili Trente (1545-1563), dalam dekrit tentang pembenaran (DS 1520-1583) menyatakan tentang iustificatio, yaitu proses pembenaran sebagai suatu pemindahan (translatio) dari status kelahiran sebagai anak Adam pertama ke status kelahiran sebagai anak Allah dalam Adam kedua melalui pembaptisan. Menurut konsili vatikan I dalam konstitusi Dei Fillius bab 3 (DS 3004, 3008-3010) beriman berarti ketaatan dan akal budi kehendak manusia kepada Allah yang memberi wahyu. Konsili Vatikan II dalam Dei Verbum art.5 menyatakan manusia dengan bebas menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah, dengan mempersembahkan kepatuhan akal budi serta kehendak yang sepenuhnya kepada Allah yang mewahyukan, dan dengan sukarela menerima sebagai kebenaran wahyu yang dikaruniakan oleh-Nya. Di dalam peristiwa iman terdapat tiga unsur utama yaitu, akal budi (bukan gerakan jiwa yang buta), kehendak (bukan kesimpulan matematis tetapi kesetujuan kepribadian yang bebas), dan rahmat (anugerah dan bantuan Allah).

3.2    Analisis
Melalui wawancara dengan para karyawan Seminari Tinggi St. Paulus Yogyakarta, dapat disusun beberapa kesimpulan adanya kaitan antara sumber teologi (pemahaman iman para karyawan, yang diperoleh melalui wawancara) dengan acuan teologi (Tradisi Gereja dan Magisterium). Keberagaman pernyataan tentang iman (paham iman, pengalaman iman, ungkapan iman, dan perwujudan iman) menunjukkan bahwa iman merupakan sesuatu yang personal/pribadi. Setiap orang menanggapi kebenaran (Allah) sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Selain itu, pengalaman menerima pembaptisan, terutama baptis dewasa, menunjukkan bahwa tindakan untuk beriman ini merupakan pilihan bebas dan sadar. Iman Katolik yang dihidupi oleh para karyawan hingga saat ini juga menunjukkan bahwa iman menuntut kesetiaan. Tanpa kesetiaan, kiranya mustahil iman Katolik mereka bisa bertahan. Hal ini sesuai dengan paham iman sebagai opsi fundamental dan pribadi, yang bebas dan sadar, yang menuntut kesetiaan kepada Allah.
Pengalaman dibaptis bersama dengan anggota keluarga dan umat lainnya, hidup bermasyarakat bersama umat Katolik lainnya juga sesuai dengan paham tindakan iman. Dengan tindakan iman, seseorang mengalami kesatuan dengan pribadi Yang Ilahi. Kesatuan dengan pribadi Yang Ilahi ini melibatkan juga orang-orang beriman lainnya, sehingga bersifat eklesial (kebersamaan) dan tidak individualistik. Unsur ketaatan dan kepatuhan juga mendapat perhatian dalam penghayatan iman para karyawan. Dengan iman, mereka taat pada perintah Allah (10 perintah Allah), kewajiban ibadah, dan tuntutan tindakan moral berdasar iman. Ketaatan ini disadari dengan akal budi dan dilakukan secara bebas, tanpa paksaan. Hal ini sesuai dengan pernyataan dalam Dei Verbum art. 5 “manusia dengan bebas menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah, dengan mempersembahkan kepatuhan akal budi serta kehendak yang sepenuhnya kepada Allah yang mewahyukan.”
Unsur “iman sebagai jaminan, pegangan hidup, dan kepecayaan” membuat para karyawan merasa aman, yakin, mantap, dan memiliki keterarahan hidup. Hal ini sesuai dengan paham iman dalam Kitab Suci, Tradisi, dan Magisterium, yaitu Sabda Allah sebagai andalan hidup. Dari sini tampak, bahwa pengalaman, pemahaman, pengungkapan dan perwujudan yang bebeda dari siapakan Allah bagi mereka, bukanlah menunjukkan keterpecahan. Tetapi justru menunjukkan kekayaan dari refleksi iman atas kesempurnaan Allah. Allah yang telah mewahyukan diri dan mencapai kepenuhannya dalam diri Putranya Yesus Kristus dan pewahyuan Allah ini sempurna. Mereka telah berjumpa dengan Allah yang serba lain (transenden) yang senyatanya menyapa mereka melalui pengalaman konkret dan real. Meski pewayuan Allah ini sempurna, tetapi dengan keterbatasan dan kemampuan manusia yang berbeda-beda, manusia hanya mampu menerima wahyu itu sesuai dengan kemampuannya sehingga tetap ada misteri dalam wahyu yang diterima manusia. Maka tidak mengherankan jika pemahaman para karyawan ini pun berbeda-beda. Hal ini akan disempurnakan dalam kedatangan Kristus yang kedua (parausia).

4.    Act
Dari penelitian sederhana ini, tampak bahwa militansi iman para karyawan Seminari Tinggi ditunjukkan melalui sikap hati yang setia, pasrah dan berani mempercayakan diri kepada Tuhan dan mencoba menghayati dan menghidupi iman akan Yesus Kristus dalam praksis hidup sehari-hari. Bukan hanya berdoa dalam arti formal, tetapi juga menjadikan setiap karya dalam rangka doa. Maka, hidup sebagai seorang Katolik mengajak mereka untuk menjadi terang bagi keluarga dan masyarakat.
Mereka bukanlah teolog, dalam arti orang yang secara khusus belajar mengenai teologi. Tetapi dalam arti tertentu mereka telah berefleksi secara teologis, bahwa berangkat dari pengalaman akan Allah yang konkrit terjadi dalam hidup mereka, mereka mereleksikannya dengan akal budi dan memaknai peristiwa itu sebagai peristiwa personal akan Allah yang menggerakkan hati dan budi untuk semakin mengarahkan diri kepada Allah. Iman mereka adalah berangkat dari refleksi sederhana akan Allah. Oleh karena itu, salah satu katekese yang berguna bagi mereka adalah mengajak mereka berefleksi lagi secara lebih mendalam, yakni dengan mengajak mereka melihat memaknai agar semakin mengimani dan mengenal Yesus Kristus sesuai dengan yang diwartakan Kitab Suci dan diajarkan dalam tradisi Gereja dan Magisterium. Mereka diajak untuk berteologi secara sederhana, supaya mereka tidak hanya berhenti pada refleksi teologis. Biarkan pengalaman mereka berbicara, kemudian mereka diajak untuk kembali merefleksikannya menggunakan akal budi, dan kemudian diperdalam dengan melihat Kitab Suci, acuan teologi (Tradisi dan Magisterium) serta sumber-sumber teologi yang tidak lain adalah pengalaman mereka sendiri. Dengan demikian, diharapakan iman mereka semakin diteguhkan dan pemahaman serta pengenalan mereka akan Allah yang memuncak dalam Yesus Kristus dapat semakin dimurnikan, kembali pada Kitab Suci, tradisi dan Magisterium.

5.    Penutup
Kiranya sudah menjadi jelas bagi kita semua bahwa masing-masing pribadi dari kita umat beriman pasti mempunyai pemahaman, pengalaman iman dan juga sekaligus bagaimana iman itu diungkapkan dan diwujudkan. Dari penjelasan di atas, kami menjadi yakin bahwa dinamika iman yang para karyawan Seminari Tinggi miliki itu mampu menunjukkan sebuah militansi iman pada zaman ini. Mereka telah bersaksi melalui kehidupan mereka yang konkrit dan personal bahwa Allah senantiasa ada, menyertai dan menjadi penyelenggara bagi mereka. Yang menjadi penting adalah supaya pemahaman iman mereka tidak dikaburkan oleh dunia sekular zaman ini. Oleh karena itu, kita perlu, bersama-sama, mengajak dan mengajarkan mereka untuk berefleksi kembali dengan kembali pada Kitab Suci, Tradisi dan Magisterium sehingga iman mereka semakin dimurnikan dan diteguhkan.



DAFTAR PUSTAKA

Y. B. Prasetyantha, MSF,
2011    Diktat Kuliah “Iman-Wahyu”, Yogyakarta, Fakultas Teologi Wedhabakti Universitas Sanata Dharma.
________________,
2008    Dokumen Konsili Vatikan II, Dei Verbum art. 4, Jakarta, Penerbit Obor.
Jacobs, Tom, SJ,
2002    Paham Allah dalam Filsafat, Agama-Agama, dan Teologi,  Yogyakarta, Penerbit dan Percetakan Kanisius.





[1] Dokumen Konsili Vatikan II, Dei Verbum art. 4, Jakarta, Penerbit Obor, 2008, 329.
[2] Y. B. Prasetyantha, MSF, Diktat Kuliah “Iman-Wahyu”, Yogyakarta, Fakultas Teologi Wedhabakti Universitas Sanata Dharma, 2011, 6-14.