Kamis, 15 Desember 2011

Refleksi Live In di Jumapolo (Mata Kuliah "Sejarah Gereja Indonesia dan Missiologi")

Pelangi Dalam Serpihan Iman

Prolog
Vivida vis animi”, kekuatan yang hidup dari jiwa. Kalimat ini merupakan sebuah pepatah Latin yang ingin menggambarkan bahwa dalam diri manusia terdapat kekuatan yang mampu mengubah segala sesuatu. Kalau mau dihubungkan dengan apa yang ditulis ini, pepatah tersebut mendeskripsikan bahwa setiap manusia memiliki kekuatan untuk mengembangkan dan menumbuhkan benih-benih iman di tanah Karang Bangun.
Karangbangun adalah salah satu nama desa di daerah Jumapolo, Solo pinggiran. Daerah ini memiliki jarak 7 km dari Paroki Santo Stephanus Jumapolo. Rasanya cukup jauh memang daerah ini, juga dengan jalan yang berkelok-kelok dan naik turun. Pikiran kami mengatakan seperti inilah memang konsekuensi untuk menaburkan benih iman pada masa yang lampau.
Kemudian kami melihat sekeliling kami ketika kami sedang menuju ke daerah itu,  banyak sawah-sawah terhampar luas dan juga tanaman-tanaman pangan hasil kerja keras masyarakat sekitar. Pada akhirnya sampailah di sebuah gapura besar bertuliskan Desa Karangbangun. Di sinilah kami menjejakkan kaki dan mencoba menelusuri benih iman di daerah ini.

Letak Geografis
Wilayah Karangbangun terbagi dalam tujuh lingkungan: lingkungan Karangbangun I, Karangbangun II, Karangbangun III, Karangbangun IV, Karangbangun V, Jatipuro dan Jatiyoso. Benih iman yang kami gali adalah lingkungan Karangbangun IV. Secara geografis, sebelah timur wilayah Karangbangun IV berbatasan dengan Karangangun V, sebelah  barat berbatasan dengan Karangbangun II, sebelah utara berbatasan dengan wilayah persawahan atau masyarakat sekitar menyebutnya Ngentak dan sebelah selatan berbatasan dengan Karangbangun II.
Hubungan penduduk Karangbangun IV dengan daerah lain berjalan dengan lancar. Setiap penduduk memiliki sarana transportasi masing-masing dan kebanyakan adalah motor. Daerah ini juga memiliki jalan yang bisa dikatakan sudah diaspal namun masih terdapat kerikil-kerikil di sekitar jalan tersebut. Sawah-sawah dan tanaman pertanian yang lain terdapat juga di daerah ini.
Udara di daerah ini sejuk karena pohon-pohon besar dan rindang masih terpelihara dengan baik di daerah ini. Ketika malam tiba, daerah ini menjadi sunyi dan sepi. Tidak ada lagi motor yang melintasi daerah ini, hanya suara jangkrik yang terus terdengar hingga pagi menjelang.

Situasi Sosial dan Ekonomi Masyarakat
Ketika kami tiba di daerah Karangbangun IV ini, kami mengira bahwa mata pencaharian para warga sekitar khususnya umat Katolik adalah petani. Hal ini didasarkan pada sawah-sawah luas yang ada di daerah ini dan banyak tanaman pertanian yang lainnya. Tetapi ternyata pandangan kami keliru. Banyaknya sawah atau tanaman pertanian tidak bisa dijadikan bukti bahwa mata pencaharian warga tersebut adalah petani. Ternyata umat Katolik di daerah Karangbangun IV ini kebanyakan bermata pencaharian sebagai guru.
Jika kami memprosentasekan, umat Katolik yang bermata pencaharian sebagai petani di daerah ini hanya 40%, sisanya adalah guru baik itu SD maupun SMA. Ini berarti bahwa kelas sosial umat Katolik lingkungan Karangbangun IV tergolong sebagai kelas menengah dengan tingkat pendidikan yang terbilang cukup. Jumlah penduduk Karangbangun IV adalah 41 kepala keluarga. Dari 41 kepala keluarga itu, 32 di antaranya memeluk agama Katolik dan sisanya agama Islam. Ini berarti bahwa mayoritas penduduk Karangbangun IV adalah beragama Katolik.
Dalam kehidupan bersama, umat Katolik di Karangbangun IV pada umumnya mampu menciptakan kerukunan dan keakraban dengan pemeluk agama lain, walaupun kami melihat ada endensi bahwa daerah Karangbangun IV ini mulai dikelilingi oleh mesjid-mesjid di setiap sudutnya.
Kaum muda di daerah ini rasanya amat minim. Jarang dijumpai kaum muda di wilayah ini. Minimnya kaum muda di daerah Karangbangun IV ini disebakan karena banyak dari kaum muda menimba ilmu di luar daerah Jumapolo, misalnya saja di Karanganyar, Solo ataupun Yogyakarta. Selain itu pula, banyak warga masyarakat sekitar yang merantau ke luar daerah untuk mencari pekerjaan. Kekhasan atau kekuatan ekonomi daerah Karangbangun IV adalah hasil buminya, contohnya: durian, rambutan, padi, pace, kacang dan jagung.

Kisah Iman yang Takkan Padam
Adalah SD Kanisius Karangbangun yang menjadi tulang punggung pengenalan dan penyebaran agama Katolik di Karangbangun. Dari sekoah dasar inilah, anak-anak mulai mengenal pelajaran agama Katolik. Sekolah yang didirikan pada tahun 1967 ini seakan-akan menjadi lahan yang subur bagi perkembangan dan penyebaran iman umat. Jadi, pengaruh SD Kanisius itu membuat anak-anak menjadi Katolik dan diikuti juga oleh orang tua mereka. Selain SD Kanisius, ada pula TPA (Tempat Pelajaran Agama) bagi anak-anak SD dan SMP.
Seorang bapak bernama Yakobus Sularyono adalah perintis awal dari penyebaran iman di daerah Karangbangun ini. Ia adalah seorang murid angkatan pertama SD Kanisius Karangbangun yang pada awalnya berada di daerah Lemahbang. SD Karangbangun ini didirikan oleh Romo-romo SJ dari Paroki Purbayan, Solo. Bapak Yakobus Sularyono gigih untuk menyebarkan agama Katolik di daerah Karangbangun terutama pada anak-anak. Ia mulai aktif untuk menyebarkan iman Katolik pada tahun 1950-an dengan berkeliling dari desa ke desa.
Penyebaran iman Katolik di daerah Karangbangun IV ini kemudian diestafetkan kepada ibu Kristina Suyati pada tahun 1959 dan kemudian pada tahun 1960 oleh ibu Mulyati. Pada tahun 1963 mulai berdatangan orang-orang dari luar daerah Karangbangun untuk menyebarakan iman Katolik. Diawali oleh Bapak St. Djuwarno yang berasal dari daerah Sragen. Ia juga turut membantu penyebaran iman Katolik di daerah Karangbangun IV. Bapak St. Djuwarno memang bukan berasal dari daerah Karangbangun IV, ia lahir di Wonogiri dan dibaptis ketika ia duduk di kelas 3 SD.
Sejak tahun 1963, Bapak St. Djuwarno tinggal di daerah Karangbangun IV dan berkarya sebagai guru SD di daerah ini. Tuntutan utama dari seorang guru di SD Kanisius ini adalah harus bisa mengajar agama walaupun bukan mata pelajaran yang spesifik dari masing-masing guru. Oleh karena itu, dengan segala kemampuan dan keahliannya, Bapak St. Djuwarno dituntut untuk mampu memperkenalkan agama Katolik secara kreatif kepada muridnya.
Kegiatan mengajar agama dilakukan oleh Bapak St. Djuwarno pada hari Sabtu malam minggu dengan mengambil tempat di salah satu rumah murid yang diasuh oleh Bapak St. Djuwarno. Dari pengalaman mengajar agama ini, Bapak St. Djuwarno mendapatkan suka dan duka tersendiri. Sukanya adalah dapat berkumpul bersama dan saling bertukar pengalaman, dalam artian bahwa dari pertemuan tersebut ada keakraban di mana masing-masing dapat saling memberi dan menerima. Pengalaman duka yang ia rasakan adalah seolah-olah ia merasa dipaksa untuk pergi kesana-kemari sehingga sungguh menyita tenaga dan pikiran.
Peran dari Bapak St. Djuwarno tidak hanya sampai di situ saja. Di dalam lingkungan ia berperan sebagai ketua BAKAT ( Bapak-Bapak Katolik) atau BABU (Bapak-Ibu Katolik). Juga menjadi pemandu pertemuan BKSN di bulan September. Dari pengalaman itu, ia dapat melihat buah-buah atau hasil yang dicapai yakni dapat merukunkan dan menyatukan kelompok melalui doa-doa serta juga dapat melatih hidup menggereja.
 Tahun 1967 merupakan tahun-tahun yang sulit bagi umat Katolik. Pada tahun ini tokoh-tokoh umat Katolik menjadi incaran. Oleh karena itu, peristiwa Gestok menjadi beban bagi umat Katolik. Pada umumnya umat Katolik di masa itu bersembunyi di hutan-hutan supaya mendapat perlindungan. Tenaga guru juga semakin berkurang karena peristiwa G 30 S/ PKI tersebut karena seringkali dianggap tersangka oleh pemerintah.
Pada tahun 1970, muncul seorang Katolik dari Tengklik namanya Bapak Agustinus Karmanto. Sejak awal, Bapak Karmanto berprofesi sebagai guru. Tahun 1947 ia masuk SR (Sekolah Rakyat) tetapi pada tahun 1948/1949, ia keluar dari SR karena situasi keamanan kurang menjamin. Pada tahun itu sekutu datang ke Indonesia, maka ia memutuskan untuk keluar sementara dari SR. Pada tahun 1953/1954, ia lulus dari SR dan tahun 1959 ia menjadi guru di Banyumas. Sebelas tahun kemudian, ia pindah ke Karangbangun dan menjadi guru SD Negeri di daerah itu.
Tahun 1970, Pak Karmanto dan Pak Djuwarno mulai mengumpulkan anak-anak dan pemuda-pemuda. Bersama Pak Djuwarno mengadakan pelajaran agama Katolik 1 minggu sekali. Kedua orang itu membagi tugas dalam pengajaran agama. Pak Djuwarno mendapat bagian mencari dan menyanyikan lagu-lagu sedangkan Pak Karmanto mendapat bagian “ndongeng” dari Kitab Suci Babad Suci. Pak Karmanto sendiri adalah guru SD Negeri. Pada pagi hari ia mengajar di sekolah dan sore harinya memberikan pendalaman iman. Dalam arti tertentu ia menjadi seorang katekis yang mencoba menumbuhkan benih iman di daerah Karangbangun IV. Dari pengalaman iman itulah banyak orang akhirnya memberikan dirinya untuk dibaptis. Pak Karmanto mengajar agama dalam jumlah yang terbatas. Ia hanya mengajar lulusan SD dan SMP yang belum dibaptis ataupun orang-orang yang sudah tua-tua atau sepuh.
Metode pelajaran agama yang dilakukan oleh Pak Karmanto biasanya diawali nyanyian dari Kidung Adi kemudian dilanjutkan dengan dongeng yang diambil dari Injil disertai dengan gambar sehingga menarik dan mudah diingat. Kalau murid-murid bosan biasanya diselingi dengan nyanyian atau melihat-lihat gambar. Secara umum pelajaran agama yang diampu oleh Pak Karmanto menggunakan bahasa Jawa juga tanya jawab pada session terakhir pelajaran agama tersebut.
Peran dari Pak Karmanto selain sebagai guru agama katolik adalah turut berpartisipasi dalam pembangunan gereja stasi di Karangbangun II. Ia melihat fenomena di mana keadaan umat semakin berkembang. Oleh karena itu, umat Katolik di Karangbangun membutuhkan gereja atau rumah ibadat. Setiap kali mengadakan pertemuan pendalaman iman, umat Katolik Karangbangun merindukan untuk memiliki rumah ibadat sendiri. Maka pada tahun 1993, mulailah rencana itu. Dengan bantuan dana dari paroki-paroki, Keuskupan Agung Semarang, hasil penjualan durian dan donatur-donatur akhirnya umat Katolik di Karangbangun membeli sebidang tanah milik Pak Sunardi. Kini dari hasil kerja keras itulah mereka dapat memiliki gereja yang mereka idam-idamkan sejak lama.
Banyak sekali tantangan-tantangan yang dihadapi dalam menyebarkan agama katolik di daerah ini. Bapak Kasino mempunyai pengalaman bagaimana dirinya beserta Br. Canisius, BM dan Pak Parno sempat dianggap mengkristenkan. Selain itu pula, setelah gereja Karangbangun berdiri banyak orang mengatakan bahwa,” jika satu gereja berdiri, maka harus ada 30 mesjid yang didirikan.” Ini semua merupakan tantangan harus dihadapi dalam meyebarkan agama katolik. Umat Katolik sendiri pada umumnya seringkali dianggap orang asing di bumi pertiwi ini, padahal sejak lahir ia tinggal di negara tercinta ini. Sulit rasanya mengubah pandangan ini, tetapi dari situlah sebenaranya iman katolik tidak akan pernah lenyap walaupun diemapas oleh ombak sekalipun.

 “Pelangi” yang menyibakkan mata
Ketika masa SMP, seringkali ketika akan berangkat ke sekolah aku melihat seberkas pelangi di ketinggian langit. Indah dan mengagumkan sekali. Saat itu memang musim hujan, dan saat itu mulai aku perpikir bagaimana pelangi itu bisa terjadi. Cahaya matahari adalah cahaya polikromatik (terdiri dari banyak warna). Warna putih cahaya matahari sebenarnya adalah gabungan dari berbagai cahaya dengan panjang gelombang yang berbeda-beda. Cahaya yang bisa ditangkap oleh mata manusia dengan tanpa alat bantu hanya 7 warna yaitu warna merah, jingga, kuning, nila, dan ungu. Warna-warna tersebut disebut juga dengan cahaya tampak.
Pelangi terjadi apabila cahaya mengalami pembiasan ketika cahaya matahari terkena air hujan. Pelangi hanya dapat dilihat pada saat ada hujan disertai dengan cahaya matahari. Posisi pengamat juga menentukan, yaitu diantara hujan dan sinar matahari, dan sinar matahari berada di belakang si pengamat. Sehingga terjadi garis lurus antara matahari, pengamat, dan busur pelangi. Akibatnya terbentuklah pelangi dari hasil pembiasan dan posisi pengamat tadi. Memang ini lebih mengarah pada bagaimana memahami fenomena alam dan yang lebih sering kita sebut sebagai ilmu alam. Sungguh mengagumkan dan betapa sebenarnya kita bisa sampai pada rasa syukur yang mendalam dan hangat akan karya cipta Allah bagi manusia. Manusia yang dicipta dan manusia yang dicinta oleh-Nya dengan segala yang Allah ciptakan sebelum manusia. Dialah Allah yang Maha Baik.
Itulah pelangi! Mengagumkan dan sekaligus meninggalkan kesan yang mewah akan indah dan agungnya Sang Pencipta. Memang, pelangi tidak lain adalah busur spektrum besar yang terjadi karena pembiasan cahaya matahari oleh butir-butir air. Ketika cahaya matahari melewati butiran air, ia membias seperti ketika melalui prisma kaca. Jadi, di dalam tetesan air, kita sudah mendapatkan warna yang berbeda memanjang dari satu sisi ke sisi tetesan air lainnya. Beberapa dari cahaya berwarna ini kemudian dipantulkan dari sisi yang jauh pada tetesan air, kembali dan keluar lagi dari tetesan air.
Indah, mengesankan, mengagumkan dan menimbulkan kesan bangga inilah yang juga ingin kami kenakan pada umat Karangbangun, khususnya bagi para guru-pendidik yang dengan segala kekhasannya masing turut ambil bagian dalam pewartaan iman terutama di lingkungan Karangbangun IV. Entah disadari atau tidak, faktanya mereka sungguh terlihat berada di barisan terdepan dalam pembangunan rohani umat di samping peranan para gembala Gereja. Kehadiran mereka memberi nuansa tersendiri bagi banyak orang dan tidak hanya tertutup pada kaum gerejani saja. Baik kehidupan maupun cara mereka berada di lingkup pendidikan ataupun dalam bermasyarakat tidaklah dapat dipisah-pisahkan satu dengan yang lainnya. Itu sudah menjadi bagian hidup mereka. Ketika mereka berkarya, terutama di bidang pendidikan mereka bukan hanya membawa diri mereka yang punya jabatan dan profesi sebagai pendidik. Bagi mereka, sudah keharusan bahwa karya dan hidup sebagai orang kristiani diintegrasikan dalam segala dimensi hidup. Oleh karenanya, apapun yang mereka lakukan, itu pun mencerminkan kehidupan mereka sebagai abdi Kristus.
Paroki Jumapolo yang memiliki cukup banyak wilayah dan lingkungan tentunya merasa bersyukur atas kehidupan umat dalam keterlibatannya dalam hidup menggereja dan bermasyarakat yang sudah dirintis sejak puluhan tahun silam. Sudah bukan menjadi barang asing lagi bahwa kehidupan masyarakat pedesaan lebih mampu menjaga keseimbangan alam dan harmonisasi kehidupan. Tak dapat dipungkiri juga bahwa pluralisme baik budaya, agama, masyarakat dan seterusnya, mau tidak mau menjadi suatu hal yang tentunya tetap diperhatikan untuk senantiasa dijaga dan dihormati agar tetap pada tempatnya.
Tentu saja hal ini menjadi kekhasan umum bagaimana kehidupan pedesaan yang sarat akan kehidupan alamiahnya ternyata mampu menciptakan keharmonisan baik alam maupun hidup bermasyarakat. Namun, tidak juga kita menutup mata akan beberapa hal lain yang terkadang justru muncul di wilayah ini, misalnya terorisme. Dalam kehidupan sosial masyarakat, umat katolik di wilayah Karangbangun mendapat tempat yang cukup baik dan terhormat di masyarakat. Banyak orang katolik menjadi pionir dalam bermasyarakat. Misalnya : menjadi ketua BPS, ketua RT, Kepala Desa, dan berbagai posisi penting dalam tata masyarakat. Dalam hal kemasyarakatan, umat katolik merasa beryukur karena diberi kepercayaan lebih terutama dalam partisipasinya mensejahterakan dan memimpin masyarakat. Ini semua disyukuri sebagai anugerah Allah yang luar biasa. Nilai-nilai kristiani dan cinta kasih tetap dibawa dan diterapkan dalam segala usaha untuk membangun masyarakat.
Dalam hal ini juga, kami hendak menunjukkan kekhasan yang dimiliki oleh wilayah Karangbangun khususnya lingkungan Karangbangun IV yang baru saja dimekarkan dari lingkungan Karangbangun II, Juni 2006 silam. Kekhasan yang dimiliki oleh lingkungan Karangbangun IV terletak pada banyaknya guru yang terlibat dalam pewartaan iman katolik. Dan hal kedua adalah bagaimana masyarakat Karangbangun IV yang notabene bukan hanya orang katolik ternyata mampun menunjukkan toleransi beragama yang cukup baik. Hal ini bisa terlihat dari kebiasaan yang hingga kini masih mereka pegang dan mereka laksanakan. Misalnya saja dalam hal sembahyangan lingkungan, yang diundang bukan hanya mereka yang katolik namun umat yang lainpun dipersilakan hadir dan berdoa menurut keyakinannya masing-masing. Begitu juga halnya jika ada misa lingkungan atau misa dengan ujud tertentu, umat yang beragama lainpun datang dan secara bersama-sama memanjatkan doa.
 Begitulah dinamika hidup umat katolik yang hadir dalam kepluralitasan. Namun, syukur kepada Allah bahwa dengan hidup bermasyarakat seperti ini mereka senantiasa diingatkan akan pentingnya membangun kerukunan hidup bermasyarakat. Peran umat sebagai guru pertama-tama memang dilakukan dalam lingkup pendidikan namun tak dapat dipungkiri bahwa keberadaan mereka di tengah-tengah masyarakat ditantang untuk menjadi garam dan terang dunia. Oleh karenanya, nilai-nilai kristiani yang ditanamkan baik di lingkup pendidikan maupun masyarakat umum mesti diresapi dan dihayati terlebih dahulu dalam lingkup keluarga.
Kami melihat bahwa perkembangan iman umat Karangbangun IV memang menggembirakan dan paling tidak dalam hal kuantitas, mengalami peningkatan. Tidak berhenti di situ, kualitas hidup beriman pun tetap diupayakan untuk dipupuk dan dikembangkan agar semakin dapat berbuah limpah. Dalam masyarakat desa, profesi sebagai guru dengan sendirinya mengundang perhatian dan penghargaan khusus juga termasuk sebuah kepercayaan. Hal ini dikarenakan, profesi sebagai guru itu dihormati dan dianggap “lebih” dari rakyat biasa, mereka mempunyai bidang dan keahlian khusus dalam mencerdaskan kehidupan bermasyarakat.
Mereka yang menjadi guru dipadang sebagai orang yang ringan tangan, berwibawa. Dan masyarakat sudah tahu ini semua dan mereka sangat menghargainya. Secara umum, jika ada acara tertentu misalnya pernikahan atau khitanan, guru di tempatkan di posisi yang penting misalnya menjadi among tamu. Dalam hidup bermasyarakatpun, guru menjadi semacam “jujugan” (tempat untuk mencari masukan dan pendapat), guru itu bisa diandalkan karena lebih tahu, dianggap lebih bisa dan lebih mampu untuk menggerakkan masyarakat serta bisa dijadikan panutan. Dari 28 KK yang ada di lingkungan Karangbangun IV, ada 9 orang yang menjadi guru yaitu Mbah Karmanto, Ibu Suwarti, Bpk. Djuwarno, Bpk. Saptono dan Ibu Mulyati, Bpk. Kasino dan Ibu Suyati, Bpk Wijayanto dan Ibu Rhesa.
Mbah Karmanto merupakan cikal bakal umat katolik di lingkungan Karangbangun IV ini. Sekitar tahun 1973, banyak anak-anak mulai menjadi katolik. Mbah Karmanto memang mengajar terbatas pada mereka lulusan SD dan SLTP yang belum dibaptis hingga banyak juga diantara mereka yang dibaptis. Sebagai Guru, Mbah Karmanto memiliki ritmenya sendiri. Pagi hari, mengajar di SD negeri dan sore harinya diadakan pendalaman iman. Mbah Karmanto juga menjadi katekis di rumahnya sendiri hingga akhirnya banyak yang dibaptis. Dalam kegiatannya sebagai guru, Mbah Karmanato bekerja sama dengan Pak Kasino yang berprofesi sebagai guru agama SD. Pak Djuwarno pun diajaknya dalam pendalaman iman anak-anak. Biasanya, Pak Djuwarno mendapat bagian dalam hal menyanyi atau lagu-lagu dan Mbah Karmanto bertugas di bagian mendongeng.     
Pada tahun 1967, SD Kanisius didirikan dan sejak pendirian sekolah tersebut anak-anak mulai mengenal pelajaran katolik. Keberadaan SD ini mendorong anak-anak dan orang tua mereka juga menjadi katolik. Selain di SD Kanisius Karangbangun ada juga TPA (tempat pelajaran agama) bagi anak-anak SD dan SMP. Bpk. Kasino, sebagai guru agama katolik di SD negeri menghimpun anak-anak tadi dan mengajar agama. Menurut Bpk. Kasino, kehadiran Br. Canisius dan Bpk. Suparno menjadi dorongan kuat bagi banyak umat yang hendak mengikuti Kristus dan menjadi katolik. Pada periode ini, banyak umat yang minta dibaptis, sampai-sampai dikatakan bahwa mereka mengadakan kristenisasi. Banyak orang katolik yang baru justru datang dari kalangan orang dewasa dan tua dengan  berbagai sebab dan motivasi. Antara lain: “orang katolik itu kalau mati akan didandani atau dirias sehingga tidak menakutkan, seolah-olah akan pergi kondangan saja”. Selain itu, disebabkan karena bebarapa anggota sudah menjadi katolik maka tertarik juga menjadi katolik.
Sebagai guru SD, Pak Kasino pun membawa nilai-nilai kristiani yakni nilai-nilai cinta kasih, memperhatikan kepentingan orang lain, membangun kebersamaan hidup, dan ringan tangan. Berdasarkan pengalamannya, seringkali dia menjadi jujugan bagi orang-orang disekitarnya. Banyak pula kepercayaan yang diberikan kepadanya dalam bidang kemasyarakatan baik sebagai ketua RT maupun menjadi pengurus PKK di wilayahnya. Baginya hal ini menjadi kegembiraan tersendiri. Akan tetapi, ada hal lain juga yang menyedihkan yakni ketika teringat akan tidak sedikitnya kaum muda-mudi yang “lari” dari gereja. Kadang-kadang harus mendapat malu karena diminta menjadi saksi perkawinan mereka yang tidak beres itu.
Tokoh guru yang lain adalah Pak Djuwarno. Dalam lingkungan, beliau berperan sebagai ketua BAKAT (bapak-bapak katolik) atau BABU (bapak-ibu katolik). Beliau juga pernah menjadi kepala sekolah di SD N Lemahbang. Dalam masyarakat luas, Pak Djuwarno berperan sebagai bendahara RT 01 dan RT 03, menjadi sekretaris kelompok tani “RAS” (rukun agawe sentosa) dan menjadi bendahara PWRI (persatuan wredatama Republik Indonesia). Menurutnya, yang tampil dalam kehidupan bermasyarakat pada umumnya adalah mereka yang berprofesi sebagai guru. Dan di wilayah Karangbangun, Pak Djuwarno berperan sebagai seksi perwartaan.
Lain lagi dengan Pak Saptono. Beliau pernah mengajar di SD N Jatirejo selama 10 tahun. Setiap hari Jumat, Pak Sapto nyambi  mengajar agama katolik. Karena agama Islam di sana berkembang cukup kuat maka hal ini pun menjadi sebuah tantangan  baginya. Pak Sapto juga pernah menjadi guru di Lemahbang selama 26 tahun, dan selama itu pula beliau merangkap sebagai guru agama katolik. Dalam kegiatan di lingkungan, kerapkali Pak Sapto ambil bagian dalam pendanaan. Kegiatan-kegiatan baik lingkungan maupun parokial pun kerap dilakoninya. Misalnya : koor, renungan APP, renungan adven, doa lingkungan dan lain sebagainya.  Seringkali rumahnya ditempati untuk pertemuan kegiatan-kegiatan tersebut.
Baginya, seorang guru semestinya bisa menjadi contoh, teladan, dapat ditiru, menjadi jujugan (memberi masukan) dan syukur-syukur bisa membantu memberikan jalan keluar misalnya dalam hal keuangan dan masalah-masalah tertentu. Pertemuan misdinar untuk wilayahpun seringkali diadakan di kediaman Pak Saptono. Selain itu, rumah Pak Saptono sering menjadi tempat menginap atau live in bagi frater, suster, dan mereka yang ingin mengenal lingkungan Karangbangun baik dalam budaya maupun masyarakatnya.
Dalam kehidupan bermasyarakat, seringkali pak Saptono bersama Ibu Mulyati “merayu-rayu” orang yang tidak pernah ke gereja atau yang imannya tengah lesu. Selain itu, memberi pengertian, pemahaman mengenai kolekte, melerai-menasihati pasangan yang akan bercerai, dan juga menjadi orang tua asuh bagi mereka yang orangtuanya kurang mampu namun punya keinginan untuk mengenyam pendidikan.  Dan buahnya, sekarang sudah mulai dirasakan yakni sudah menyekolahkan 5 orang anak.

Remah-remah dalam langkah
Ungkapan syukur dan luapan kebahagiaan selayaknya dikumandangkan ditengah-tengah umat Karangbangun IV pada saat ini. Melihat segala perkembangan, hal-hal positif dan kemajuan yang ada nampaknya semakin membulatkan tekad kita untuk senantiasa mengekspresikan suasana sukacita itu. Hal paling utama dan mendesak untuk selalu diingat adalah berkat dan pendampingan Allah selama inilah yang semestinya disyukuri dan diterima dengan penuh hangat. Tanpa pendampingan, berkat dan peran serta Allah yang bertindak, maka mustahillah akan mendapatkan karunia  yang besar dan yang melimpah ini. Memang, kita tidak bisa menutup mata akan tidak sedikitnya keprihatinan yang kita alami sebagai umat Allah yang sedang berziarah yang ternyata malah mengalami begitu banyak tantangan yang melemahkan kita. Kita mesti bangkit untuk bergerak dan untuk semakin menampakkan wajah Kristus yang tertebus bagi semakin banyak orang.
Perjalanan panjang umat katolik Paroki Jumapolo dan khususnya wilayah Karangbangun, dan teristimewa Karangbangun IV memiliki kekhasannya tersendiri. Dalam hal ini, ternyata ditemukan bahwa penggerak utama dalam pewartaan dan perluasan Kerajaan Allah diupayakan oleh para guru baik kapasitasnya sebagai tenaga pendidik dan pelayan masyarakat maupun dalam tataran sebagai bagian dari anggota masyarakat tertentu. Tentu hal ini sangat menggembirakan dan mengagumkan karena di tengah-tengah tantangan arus zaman dan desakan untuk hidup demi diri sendiri semakin menguat justru mendorong mereka yang berprofesi sebagi guru untuk semakin memberikan diri mereka bagi semakin banyaknya orang untuk dekat dan terlibat dalam persekutuan sebagai umat Allah.
Menarik sekali bahwa dengan cara mereka masing-masing yang khas dan tangguh, mereka pertama-tama mampu membawa nilai-nilai kristiani bagi kehidupan dan kesejahteraan bersama. Maka dari itu, tidak mengherankan bahwa ketika penyusun datang, tinggal, hidup, melihat dan merasakan langsung dinamika umat di Karangbangun IV  kami sungguh dapat “melihat” buah karya Allah melalui tangan dan kerja keras mereka selama ini. Suasana persaudaraan, kegembiaraan, sukacita dan semangat untuk membangun persekutuan hidup beriman yang semakin intim, mendalam, hangat dan padat nampaknya terus diupayakan dan dikembangkan ditengah situasi zaman yang semakin semrawut ini. Mereka yang ada di depan, para guru, berusaha menjadikan diri pantas dan layak untuk diteladani, ditiru, dijadikan tempat untuk berteduh, tempat jujugan bagi mereka yang membutuhkan kelegaan atas masalah-masalah kehidupan.
Hal yang sama pun mereka terapkan dalam tugas mereka sehari-hari sebagai tenaga pendidik. Tugas yang mereka terima bukanlah tugas biasa dan sepele. Mendidik manusia agar semakin manusiawi dan nantinya dapat memanusiawikan orang lain nampaknya menjadi hal mendesak untuk ditanamkan dalam diri naradidik. Kasih persaudaraan, pengampunan, kerendahhatian, dan nilai-nilai kristiani yang lain menjadi hal penting untuk terus diupayakan dan diusahakan agar mereka mempunyai kekhasan sebagai manusia tanpa memaksa mereka untuk menjadi katolik. Akan tetapi, justru karena kesaksian hidup dan keutamaan-keutamaan yang sudah ada pada merekalah, orang-orang yang ada di sekitar mereka merasa disegarkan karena dekat dengan Sang Sumber yang nyatanya hadir dalam pribadi mereka.
Kini pelangi itu menjadi penuntun langkah yang menyiratkan keindahan tersendiri bagi umat Katolik di daerah Karangbangun IV ini. Benih iman Katolik yang tumbuh di dalam masyarakat Karangbangun IV ini tidak lepas dari peran para guru yang tak kenal lelah memberikan pelajaran agama Katolik bagi kaum muda pada masa itu. Adanya arus perubahan zaman yang nyata bergejolak dan tantangan yang semakin menekan bahu tidak membuat semangat kehidupan iman menjadi kendor. Memang yang menjadi pertanyaan adalah siapa penerus generasi-generasi pendahulu yang sudah termakan usia mengingat generasi muda daerah ini sebagian besar meninggalkan wilayah Karangbangun IV ini? Jika memang seperti itu adanya, biarlah sinar-sinar pelangi itu ditangkap oleh orang yang berminat untuk menjadi pelangi itu sendiri.

Sang pelangi perlahan mulai tampak dari kejauhan.
Kilaunya memukau laksana batu permata yang memancarkan keindahannya pada setiap sudut sisinya.
Cahayanya memberikan kesejukan pada setiap mata yang memandangnya.
Kesejukan yang takkan pernah sirna meskipun rintik hujan menerpa.


Kelompok Sejarah Gereja Indonesia, Lingkungan St. Mikhael Karangbangun IV :
Invarien Alpha Andriyanto, Antonius (FT 3222)
Nunung Triatmoko, Fidelis (FT 3255)
Indra Sepriandika, Hieronymus (FT 3241)











Tidak ada komentar:

Posting Komentar