Cinta atau Keadilan ?
Selayang Pandang Mengenai Kekerasan terhadap Perempuan dalam Islam
Oleh : Antonius Invarien Alpha Andriyanto
1. Pengantar
Fenomena kekerasan yang terjadi dalam lingkup Islam memang tidak bisa dipungkiri sering menjadi sorotan tajam pada media massa. Itu semua disebabkan karena adanya jurang pemisah antara konsep keadilan dalam hukum Islam dan konsep Cinta pada umumnya. Islam mengajarkan pengikutnya bahwa keadilan harus dijunjung tinggi. Namun, banyaknya aliran Islam membuat konsep mengenai keadilan itu. Banyak aliran Islam yang tidak ortodoks lagi. Mereka sering menggunakan hukum agama Islam untuk melegalkan segala sesuatu sesuai dengan apa yang tertulis dalam Qur’an. Wahyu dalam agama yang ditafsirkan sedemikian rupa sehingga dapat dipakai untuk melegitimasi kekerasan suami terhadap istri[1]. Kita dapat melihat bagaimana umat Islam melegalkan kekerasan terhadap perempuan dimana kaum perempuan sering ditempatkan posisinya dibawah kaum lelaki. Setiap tiga menit satu perempuan dipukul, setiap lima menit satu perempuan diperkosa, setiap sepuluh menit satu gadis kecil dianiaya, setiap hari tubuh perempuan ditemukan di lembah-lembah dan ranjang di lantai atas[2].Mereka melegalkan kekerasan terhadap kaum perempuan karena dalam Qur’an dikatakan bahwa kaum perempuan harus melakukan kewajibannya untuk taat kepada suami mereka. Dari situlah muncul fenomena kekerasan yang dilakukan oleh kaum lelaki terhadap kaum perempuan dimana hukum agama Islam dibawa, dibaca secara harafiah dan tidak digunakan sebagaimana mestinya.
2. Data – Fenomena
Dalam sebuah berita di www.suaramerdeka.com yang ditulis oleh Lufti Kirom A (alumnus IAIN Walisongo Semarang dan Alumnus Pondok Pesantren Al-Anwar Mranggen Demak) – Jumat, 06 Mei 2005, Prof Nasaruddin Umar, MA (2002) menyatakan penafsiran Alquran sering dijadikan referensi dalam melegalkan pola hidup patriarki dimana laki-laki dianggap sebagai jenis kelamin utama, sedangkan perempuan sebagai jenis kelamin kedua. Para ulama fikih hanya memahaminya secara literal. Akibatnya, hukum Islam saat ini dituduh telah menindas kaum perempuan, dan menjadikannya sebagai anggota masyarakat kelas dua. Walaupun ayat-ayat Alquran tentang gender merupakan suatu proses dalam mewujudkan keadilan secara konstruktif di dalam masyarakat namun sebenarnya tujuan Alquran tentang pola relasi gender laki-laki dan perempuan, yaitu hubungan yang bersifat fungsional dan komplementar yang didasari cinta damai dan kasih. Akibatnya, hukum Islam yang ada sekarang membebani punggung umat dan tidak sesuai lagi dengan kemajuan ilmu pengetahuan serta situasi dan kondisi abad ke-20. Maka dari itu, Rasulullah saw menitikberatkan kepada manusia untuk memperhatikan konsep keseimbangan, keserasian, keselarasan, keutuhan baik sesama umat manusia maupun dengan lingkungannya. Konsep relasi gender dalam Islam lebih dari sekadar mengatur keadilan gender dalam masyarakat. Tetapi secara teologis mengatur pola relasi mikrokosmos (manusia), makrokosmos (Alam), dan Tuhan, sehingga, manusia bisa mencapai derajat hamba (abdi) sesunguhnya[3].
Dari narasi berita singkat di atas, muncul sebuah pertanyaan yang mendasar, “Manakah yang sebenarnya dibutuhkan dalam relasi laki-laki dan perempuan : Cinta atau Keadilan” ? Dalam paper inilah, saya akan mencoba untuk merefleksikan kekererasan terhadap perempuan dari sudut pandang filsafat Buddha dan gagasan Jalal al-Din al-Rumi tentang cinta. Dan saya juga akan memberikan tanggapan serta kesimpulan dari keseluruhan isi paper ini.
3. Refleksi dari perspektif Filsafat Buddha[4]
Untuk menolong orang lain agar mudah mengarahkan hidup macam apa yang harus dijalani, Buddha menawarkan tiga kata penting, antara lain : anicca, dukkha, anatta. Salah satu kata penting yaitu Dukkha merupakan salah satu bagian dari Cattari Ariyasaccani atau yang biasa disebut “Empat Kebenaran Mulia”. Inti pengajaran Buddha terletak pada Empat Kebenaran Mulia ini.
Saya akan mencoba merefleksikan fenomena kekerasan terhadap perempuan itu dalam kaca mata ajaran Buddha. Menurut Buddhis, kehidupan di dunia ini tidak terlepas dari dukkha. Dukkha dalam konteks ini berarti penderitaan (lawan dari ‘sukkha’), ketidaksempurnaan dan itu semua berakar pada kehausan untuk hidup, kelekatan pada eksistensi. Fenomena kekerasan terhadap perempuan itu merupakan dukkha bagi mereka yang mengalaminya dan juga ketidaksempurnaan, kehausan akan hidup serta kelekatan pada perempuan bagi mereka para pelaku kekerasan.
Untuk terlepas dari dukkha ini, Buddhis mengajarkan adanya Magga atau biasa yang disebut “Jalan Tengah”. Jalan tengah merupakan jalan menuju ketiadaan dukkha. Jalan ke penerangan sempurna ini berdasar pada delapan prinsip kebenaran antara lain : pemahaman yang benar, pemikiran yang benar, kata-kata / pembicaraan yang benar, tindakan yang benar, pekerjaan / cara hidup yang benar, usaha yang benar, keterarahan budi yang benar dan konsentrasi / meditasi yang benar. Secara garis besar, Jalan Delapan – Kebenaran Mulia itu dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu 1) Perilaku etis / bermoral yang meliputi kata-kata/pembicaraan yang benar, tindakan yang benar dan pekerjaan/cara hidup yang benar, 2) Disiplin mental yang meliputi usaha yang benar, keterarahan budi yang benar dan konsentrasi/meditasi yang benar, 3) Kebijaksanaan yang meliputi pemahaman yang benar dan pemikiran yang benar.
Melalui jalan tengah inilah seseorang yang mengalami penderitaan atau yang membuat penderitaan sendiri akan terlepas dan bebas. Melalui perilaku etis / moral, orang akan mengalami kasih dan kemurahan hati untuk semua makhluk. Melalui disiplin mental, keadaan budi yang bersifat jahat dan tidak murni (nafsu dan pikiran yang tidak murni ) akan hilang, dan muncul kedamaian budi. Sedangkan melalui kebijaksanaan, orang diajak untuk mengarah pada pemikiran-pemikiran penuh cinta kasih, non-violence, ketiada-lekatan demi kepentingan diri sendiri dan demi kebahagiaan semua makhluk.
4. Refleksi dari perspektif Tokoh Mistik Jalal al-Din al-Rumi[5]
Jalal al-Din al-Rumi merupakan tokoh mistik sufisme yang berbicara tentang cinta. Bagi Rumi, cinta tidak dapat diterangkan dengan kata-kata, tetapi hanya dapat dipahami melalui pengalaman. Pesan cinta itu ditunjukkan kepada semua orang yang nuraninya masih terbuka pada daya batin yang tidak cukup hanya didefinisikan dengan kata-kata tetapi harus dialami dalam hidup. Cinta adalah suatu kenyataan yang hidup, yang tak bakal mati dan yang senantiasa melimpahkan kehidupan kepada setiap yang ada. Rumi menasihatkan agar manusia harus dapat melepaskan diri dari sangkar emas yang dinamainya perut dan materi sehingga manusia dapat terbang ke angkasa raya hati yang luas sambil melihat keajaiban-keajaiban Allah.
Dalam syair “Cinta Wanita”, Rumi mengungkapkan bahwa ciri khas yang membedakan manusia dengan binatang lain adalah cinta. Inilah ciri khas Manusia : pada jenis binatang lain cinta kurang terdapat, dan itu menunjukkan rendahnya derajad mereka. Cinta dan kelembutan adalah sifat manusia, sedangkan amarah dan gairah nafsu adalah sifat binatang.[6] Begitu juga mungkin yang terjadi dalam kekerasan terhadap perempuan muslim. Sang suami yang melakukan kekerasan dengan penuh amarah dan gairah nafsu menampakkan sifat binatang dan bukan sifat manusia.
Jalan Cinta Rumi menampakkan juga Jalan Tuhan. Rumi mengatakan bahwa Tuhan adalah Cinta. Artinya adalah cinta itu sendiri merupakan sifat Tuhan, seperti halnya Harapan, Pengetahuan, Kehidupan, dan Kehendak. Cinta menjadi sumber gerakan dan perbuatan individu. Untuk semakin mengenal jalan cinta diperlukan kepekaan hati. Jika laki-laki masih melakukan kekerasan terhadap perempuan, itu berarti mereka belum memiliki kepekaan hati untuk mengenal cinta.
Menurut Rumi, cintalah esensi kehidupan. Karena cintalah, Tuhan menciptakan semesta ini. Bagi Rumi, akal itu belenggu dan kekuatan yang menghidupkan segala wujud adalah Cinta. Rumi mengajak dan mengajarkan kepada kita untuk senantiasa menjadikan cinta sebagai jiwa diri dan kehidupan. Akhirnya, Rumi menghadirkan dan sekaligus menawarkan cinta sebagai jalan kehidupan: bahkan cinta sebagai inti kehidupan, atau sebagai kehidupan itu sendiri.[7]
5. Tanggapan pribadi
ü Tanggapan positif :
Saya mendukung pemikiran Rumi tentang cinta. Saya terkesan dengan ajarannya. Cinta tidak hanya diungkapkan dalam kata-kata tetapi melalui perbuatan yang nyata. Ketika orang bisa mencintai orang lain, saat itu juga dia berada dalam jalan cinta dimana ada kelembutan dan kasih sayang. Namun bila yang terjadi adalah kekerasan, amarah dan nafsu, maka terbukti bahwa jalan cinta belum dimiliki oleh orang itu karena masih dikuasai oleh sifat binatang.
Saya juga setuju dengan konsep pemikiran Buddha mengenai dukkha. Penderitaan itu pasti dialami oleh setiap manusia. Dalam konteks ini, khususnya perempuan. Namun yang menarik adalah bahwa para pelaku kekerasan yaitu laki-laki itu juga mengalami dukkha, karena mereka mengalami ketidaksempurnaan, masih ada kelekatan dengan hasrat duniawi, nafsu untuk menguasai.
ü Tanggapan negatif :
Saya kurang setuju jika khususnya kaum lelaki islam mengartikan ayat suci Qur’an sebagai sarana untuk melegalkan kekerasan. Entah itu karena ada kaitannya dengan budaya patriarki dimana kaum laki-laki berhak menguasai kaum perempuan dan harus taat pada laki-laki maupun penyelewengan arti dari ayat suci Qur’an itu sendiri. Saya rasa sosialisasi terhadap umat islam dengan mengadakan ceramah, seminar maupun pertemuan-pertemuan yang membahas dan mendalami secara konstektual ajaran islam sesuai dengan perkembangan jaman diperlukan sehingga para kaum lelaki islam tidak menafsirkan ayat suci Qur’an dengan kaku dan tidak kontekstual dengan zaman modern saat ini dimana hak-hak wanita diakui dan kesetaraan gender dihormati.
Saya juga berharap bahwa pendidikan-pendidikan yang ditanamkan sejak dini di taman kanak-kanak, di pondok pesantren, dsb juga mengajarkan orang islam untuk menjadi orang islam yang sejati, soleh dan sesuai dengan ajaran Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad. Jika itu dilakukan dengan jujur dan baik pasti konsep mengenai cinta juga muncul di dalam pemikiran orang islam sendiri. Nilai-nilai keutamaan hidup seperti mencintai, menghormati, menghargai, dsb pasti akan membuat generasi islam mendatang menjadi lebih baik dan solider dalam bertindak.
6. Kesimpulan dan tesis umum
Ternyata dalam kehidupan islam sendiri sebenarnya ada tokoh-tokoh yang patut diteladani hidupnya. Salah satunya adalah Jalal al-Din al-Rumi. Jalan cinta menjadi sarana yang bagus untuk membina hubungan relasi dengan orang lain dalam keberagaman agama, ras, maupun etnis. Begitu juga dengan Buddha, dimana mengajarkan tentang jalan tengah untuk membebaskan diri dari dukkha/penderitaan yaitu dengan 8 jalan kebenaran yang diringkas menjadi 3 jalan kebenaran. Cinta menjadi keutamaan yang lebih unggul dari keadilan. Cinta merupakan sifat Tuhan sendiri, sedangkan keadilan adalah sifat manusia yang sering disalahartikan. Akhirnya saya ingin menjawab pertanyaan “Manakah yang sebenarnya dibutuhkan dalam relasi laki-laki dan perempuan : Cinta atau Keadilan” ? Jawabannya adalah CINTA.
Dari situ saya bisa menyimpulkan dalam tesis umum bahwa Cinta merupakan Jalan Tengah Kehidupan dimana Tuhan hadir dan menyapa manusia melalui kelembutan, kedamaian, dan kebahagiaan.
Daftar Pustaka
Reynold A Nicholson.,
1993 Jalaluddin Rumi, Ajaran dan Pengalaman Sufi, Pustaka Firdaus, Jakarta.
Drs. P. Agung Wijayanto, MA, MBS.,
2010 Diktat Mata Kuliah Buddha “Empat Kebenaran Mulia”.
Asef Umar Fakhruddin.,
2010 “Rumi : Sastra Islam dan Ajakan Bersama Tuhan”, BASIS no.09-10, 37-45.
Effendi Kusuma Sunur.,
2006 “Kekerasan terhadap Perempuan, Suatu Akibat Cara Pandang ‘Yang Lain’ ”, Jurnal Filsafat Driyarkara Tahun XXVIII, no. 3, 38.
Hedwig Meyer-Wilmes.,
2003 “Kekerasan Besar-besaran terhadap Perempuan Atas Nama Agama”, dalam Wim Beuken Karl-Josef Kuschel, et al (eds.), Agama sebagai Sumber Kekerasan ? Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 91.
Paper Presentasi Filsafat Islam, Kelompok VIII, Fakultas Teologi Wedabhakti Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. 2010.
http://www.suaramerdeka.com, Sabtu, 3 Desember 2010, pukul 11.45 WIB.
[1] Effendi Kusuma Sunur, “Kekerasan terhadap Perempuan, Suatu Akibat Cara Pandang ‘Yang Lain’ ”, Jurnal Filsafat Driyarkara Tahun XXVIII, no. 3 (2006), 38.
[2] Hedwig Meyer-Wilmes, “Kekerasan Besar-besaran terhadap Perempuan Atas Nama Agama”, dalam Wim Beuken Karl-Josef Kuschel, et al (eds.), Agama sebagai Sumber Kekerasan ? Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2003, 91.
[3] Diambil dari http://www.suaramerdeka.com, Sabtu, 3 Desember 2010, pukul 11.45 WIB.
[4] Drs. P. Agung Wijayanto, MA, MBS, Diktat Mata Kuliah Buddha “Empat Kebenaran Mulia”, 2010.
[5] Diambil dari Paper Presentasi Filsafat Islam, Kelompok VIII, 2010.
[6] Reynold A Nicholson, Jalaluddin Rumi, Ajaran dan Pengalaman Sufi, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1993, 19.
[7] Asef Umar Fakhruddin, “Rumi : Sastra Islam dan Ajakan Bersama Tuhan”, BASIS no.09-10 (2010), 37-45.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar