Refleksi Surat Paulus kepada Jemaat di
Galatia
Oleh : Fr. Andri (Tk. III)
Galatia 3 : 3
”Adakah kamu sebodoh itu? Kamu telah mulai dengan
Roh, maukah kamu sekarang mengakhirinya di dalam daging?
Kitab
Suci Komunitas Kristiani menuliskan bahwa kutipan dari Galatia 3:3 itu memiliki
makna ganda. Makna yang pertama adalah
bahwa umat di Galatia telah mengalami bagaimana Roh Kudus bekerja dan juga
melalui mukjizat-mukjizat-Nya, tetapi sekarang mereka malah mau menerima sunat
dalam daging. Sedangkan, makna yang kedua adalah bahwa mereka telah mulai
dengan kebenaran Tuhan yang ada dalam Kristus, yaitu Roh, sekarang mereka
kembali pada adat istiadat Yahudi sekalipun dari Tuhan juga tetapi disesuaikan
dengan umat yang masih hidup menurut daging, yaitu mereka yang tidak terpelajar
dalam iman dan mereka yang berdosa.[1]
Menurut Tafsiran Alkitab Masa Kini 3, kutipan dari Galatia 3:3 itu menjelaskan
mengenai perbandingan antara Roh dan daging. Roh adalah percaya pada Kristus yang telah mati dan bangkit yang
dijawab oleh manusia melalui iman yaitu dengan menerima karunia Roh Kudus.
Sedangkan daging adalah menunjuk pada manusia atau tubuh material/jasmani dari
makhluk hidup, mencirikan apa yang dihasilkan oleh alamiah dan bagaimana hidup
berdosa alamiah yaitu terpisah dari Roh Allah, menjelaskan mengenai manusia
yang jatuh dan perbuatan-perbuatannya yang penuh dosa, daging yang menghasilkan
sifat-sifat buruk dan daging sebagai kekuatan yang melawan yang baik dan yang
merusak.[2]
Penjelasan dari kedua sumber buku diatas hanyalah untuk memberi dasar
pemahaman mengenai ayat dari Galatia 3:3. Dari situ aku tahu bahwa kutipan satu
ayat dari Surat Rasul Paulus kepada jemaat di Galatia tersebut melukiskan
pergulatan yang tidak pernah berakhir antara Roh vs daging. Pengalaman selama
proses formatio di Seminari Tinggi ini pun juga mencakup dua hal tersebut. Dalam
refleksi ini, aku mencoba merefleksikan lebih dalam lagi mengenai pengalamanku
yang cenderung mengarah pada Roh dan pengalamanku yang cenderung mengarah pada daging.
Keinginan Roh identik dengan segala hal yang baik sedangkan keinginan daging
identik dengan segala hal yang buruk. Kekuatan baik dan kekuatan buruk pastilah
tidak mungkin bisa bersatu. Dan kekuatan baik tidaklah selalu akan menang dari
kekuatan buruk, begitu sebaliknya. Pengalaman hidup sehari-hari juga pasti
mengandung dua unsur tersebut yaitu baik dan buruk, roh dan daging.
Dalam
buku Latihan Rohani St. Ignatius Loyola, pengalaman hidup baik dalam roh
disebut dengan hiburan rohani sedangkan
pengalaman hidup buruk atau jahat dalam daging disebut dengan kesepian rohani. Aku akan mencoba
merefleksikan mengenai kedua pengalaman itu. Hiburan rohani yaitu keadaan dalam diri dimana muncul gerak batin yang
mendorong diri semakin berkobar untuk mencintai Tuhan dan sesama, iman, harapan
dan cinta semakin diperteguh, serta hidup menjadi semakin damai dan tenang.[3]
Hiburan rohani yang kualami di seminari tinggi ini adalah ketika aku mampu
memahami bahwa Tuhan berkarya melalui para staf untuk mendidik kami menjadi
calon imam yang baik dan juga cinta Tuhan melalui sesama yang selalu mendukung
dan menemaniku dalam menjalani panggilan ini. Hiburan rohani itu juga kualami
ketika aku merasakan kebersamaan dan kasih diantara teman-teman sekomunitas
maupun seangkatan, yaitu saat rekreasi bersama, saat olahraga bersama, saat
promosi atau safari panggilan bersama. Hiburan rohani yang semakin membuat
pikiran dan hati damai adalah ketika adorasi. Dalam suasana adorasi itu, aku
sungguh-sungguh bisa menyediakan waktu khusus untuk Tuhan. Kedamaian dan
ketenangan kurasakan sebagai anugerah dan kesempatan yang diberikan oleh Tuhan
kepadaku untuk sejenak tinggal bersama dengan Tuhan dalam adorasi kudus itu.
Kesepian rohani adalah
semua yang berbalikan dari hiburan rohani itu yaitu keadaan dimana terdapat
kekacauan batin, gerak hati dan pikiran yang mengarah kepada hal-hal duniawi,
saat muncul keragu-raguan dan hilangnya kepercayaan, harapan dan cinta,
kecenderungan diri yang memilih untuk merasa nyaman berada dalam situasi yang
malas, lesu, kendor, dan semakin terpisah jauh dari Tuhan.[4]
Kesepian rohani yang kualami di seminari
tinggi ini adalah ketika aku mengalami rasa malas dalam mengerjakan tugas
sehingga akhirnya aku mudah untuk menunda-nunda tugas, doa pribadi maupun
devosi pribadi yang kendor atau kulakukan dengan tidak tetap atau tidak setia. Menurutku,
sikap reaktif beberapa frater ketika ada wacana atau peraturan yang baru maupun
yang sebenarnya tidak baru tetapi dimunculkan kembali, itu juga masuk kedalam
kesepian rohani. Para frater tersebut sedang mengalami kesepian rohani.
Kecenderungan untuk merasa nyaman dalam situasi tertentu dan tidak mau diganggu
adalah sifat dari daging kita.
Pengalaman
dalam menjalani panggilan di jalan imamat ini pasti tidaklah selalu akan
menjadi hiburan rohani, namun adakalanya juga bisa jatuh kedalam kesepian
rohani. Kadangkala kita mudah jatuh kedalam idealisme dan kurang mampu untuk
hidup dalam kenyataan. Aku juga menyadari bahwa idealisme-lah yang kadang
menjerumuskan aku kedalam kecenderungan untuk memilih kenyamanan daging.
Padahal, kenyataan-lah yang sebenarnya sudah menunggu di depan sana yang
mengajakku untuk mampu berani melihat karya Tuhan yang indah melalui sesama,
melalui para staf dan juga melalui orang-orang yang kita cintai. Aku menjadi
sadar bahwa pergulatan dualisme antara terang-gelap, baik-buruk, Roh-daging,
idealisme-kenyataan, dsb akan selalu ada dalam hidupku, terutama dalam
menjalani panggilan ini, dan tinggal bagaimana aku harus bijaksana dalam
bersikap serta dengan rendah hati mohon rahmat pendampingan Tuhan supaya mampu
memahami kehendak-Nya yang terbaik untukku. Amin ! DEO GRATIAS ! YEAH !
[1] LAI, Kitab Suci Komunitas
Kristiani, Obor, Jakarta 2002, 428.
[2] Yayasan Komunikasi Bina Kasih, Tafsiran Alkitab Masa Kini 3, Gunung Mulia, Jakarta 1982, 581.
[3] J. Darminta, SJ, Latihan
Rohani St. Ignatius Loyola, Kanisius, Yogyakarta 1993, 164.
[4] J. Darminta, SJ, Latihan
Rohani St. Ignatius Loyola, 164.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar